Jakarta, CNN Indonesia -- Remaja miskin yang merasa positif terhadap komunitas mereka akan terlindungi dari efek buruk kemiskinan yang merusak kesehatan mental. Hal itu terungkap dari penelitian terhadap remaja yang tinggal di lingkungan miskin di seluruh dunia.
Para peneliti dari Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health melakukan penelitian terhadap 2.400 remaja dari keluarga berpenghasilan rendah, usia 15 sampai 19 tahun. Penelitian tersebut dilakukan di lima kota, yaitu Baltimore (Maryland), New Delhi (India), Ibadan (Nigeria), Johannesburg (Afrika Selatan), dan Shanghai (Tiongkok).
Dikutip dari laman
Huffington Post, temuan itu diterbitkan dalam lima laporan yang dibuat sebagai suplemen khusus untuk
Journal of Adolescent Health edisi Desember 2014. Para remaja tersebut ditanya tentang bagaimana perasaan mereka terhadap lingkungan yang mereka tinggali.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Juga, apakah mereka merasa orang tua menjadi model positif yang memberikan dukungan sosial.
Kesehatan mereka juga salah satu yang menjadi perhatian, seperti masalah kesehatan yang mereka hadapi, termasuk masalah kesehatan mental seperti depresi. Di antara masalah yang dihadapi para remaja tersebut adalah kehamilan remaja, kekerasan, depresi, stres pascatrauma, HIV, dan usaha bunuh diri.
Karena para remaja yang diteliti berasal dari seluruh dunia, para peneliti menemukan bahwa kekayaan negara tidak ada korelasi dengan kesehatan mental yang lebih baik. Sebaliknya, kombinasi antara peran positif dari orang dewasa sebagai model dan persepsi positif terhadap lingkungan membuat kesehatan mental remaja yang lebih baik.
Di Baltimore, misalnya, remaja merasa tidak aman bahkan di rumah mereka. Mereka melaporkan melihat kekerasan di lingkungannya, dan merasa tidak memiliki model orang dewasa yang positif. Para responden di Balitimore menunjukkan gejala depresi, termasuk stres pascatrauma, dan pikiran bunuh diri.
Sebagai perbandingan, meskipun kemiskinan merajalela di India, dari hasil studi remaja di New Delhi, mereka merasa aman berada di rumah, dan tidak terlibat banyak kekerasan.
“Jika tidak ada seorang pun yang memberikan dukungan positif, lalu Anda melihat ada tikus dan sampah di luar, dua hal tersebut berkaitan satu sama lain,” kata Kristin Mmari, asisten profesor di Department of Population, Family and Reproductive Health di Johns Hopkins Bloomberg School.
“Apakah ada yang peduli terhadap saya? Lalu mereka melihat ke luar jendela, mereka merasa takut. Mereka tidak merasa aman. Kombinasi faktor-faktor tersebut memengaruhi satu sama lain.”