Jakarta, CNN Indonesia --
Opo ora eman duite, gawe tuku banyu setan...Opo ora mikir yen mendem iku biso ngerusak pikiran...Lirik lagu
Oplosan dibuat bukan hanya sekadar untuk bunyi. Itu mencerminkan sebuah fenomena di masyarakat. Di Indonesia, mulai pedesaan sampai kota besar, akrab dengan minuman oplosan. Tak main-main, yang dioplos minuman keras.
Menurut JF Warouw, sosiolog Universitas Indonesia tradisi mengoplos minuman berkaitan dengan kebiasaan mabuk yang sudah ada sejak lama. Tradisi itu banyak ditemui pada masyarakat kalangan menengah bawah, seperti sopir angkutan umum.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tiap narik biasanya minum bir. Kemudian jadi kebiasaan, dan akhirnya jadi pelarian dari masalah," ujar Warouw saat dihubungi CNN Indonesia lewat telepon, Senin (8/12).
Bagi mereka, minum minuman memabukkan bagai menenggak cairan penyegar. Dengan minuman itu, mereka merasa terbebas dari stres. Sebab, pikiran mereka terhimpit masalah ekonomi dan beban hidup yang lain.
Mabuk adalah pelarian. "Bagi mereka, ini semacam psikotropika baru. Membuat mereka
fly, tapi aman. Kalau pakai narkotika kan akan ditangkap," tutur Warouw menjelaskan.
Kebiasaan melarikan diri dari masalah itu, berkembang dari masa ke masa. Kalau mulanya hanya dengan minuman keras biasa, kelamaan mulai coba-coba mengoplos. Kata Warouw, itu berkaitan dengan uji nyali dan keinginan untuk dianggap jagoan.
"Kalau di bar kan diracik bartender, punya keahlian. Ini di bartender jalanan, ada kepercayaan bahwa kalau bisa bikin
fly dengan minuman oplos, dianggap jagoan," Warouw mengatakan. Anggapan jagoan bukan hanya untuk bartender peracik minuman.
Mereka yang bisa bertahan dengan minuman oplosan, juga dianggap keren. "Kalau bisa minum itu dan berhasil, berarti punya kemampuan," ujar Warouw menambahkan.
Tak peduli bahayaYang menjadi masalah, terkadang minuman dicampur dengan berbagai bahan berbahaya. Bahkan alkohol yang digunakan pun kadang bukan untuk konsumsi, melainkan industri.
Tapi, dilanjutkan Warouw, jika sudah berkaitan dengan candu dan tantangan nyali, masyarakat cenderung tidak peduli. "Biasanya mereka masyarakat marjinal, yang menganggap dirinya kurang beruntung. Tapi kalau sudah kecanduan begitu, mereka lupa soal masalah ekonomi," ia menjabarkan.
Masalah itu lantas berkembang menjadi persoalan kriminalitas yang lain. Masyarakat menjadi pencopet, penjambret, pencuri, demi memenuhi hasrat minum.
(rsa/utw)