Jakarta, CNN Indonesia -- Resistensi terhadap antibiotik gencar diberitakan akhir-akhir ini. Berdasarkan data dari
Centers for Disease Control and Prevention, sebanyak dua juta orang telah terinfeksi bakteri yang menyebabkan resistensi terhadap antibiotik tiap tahunnya. Lebih parah lagi, 23 ribu orang di antaranya meninggal dunia.
Hingga kini, kondisi ini pun belum membaik. Sebuah kajian terbaru yang dirilis pada akhir bulan lalu menyatakan, jika bakteri penyebab resistensi terhadap antibiotik tetap berkembang seperti sekarang, pada tahun 2050 nanti, 10 juta orang akan meninggal per tahun akibat penyakit yang tak dapat disembuhkan.
Menurut kajian, kematian tersebut akan berbeda di tiap negara. Di negara-negara di Asia, malaria akan memakan korban paling banyak, sementara Rusia, tuberkulosis diperkirakan memiliki pengaruh yang sangat besar dalam menyumbang angka kematian.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Resistensi terhadap antibiotik adalah bagian alami dari evolusi. Sama seperti manusia menciptakan obat untuk melawan penyakit berbahaya, bakteri pun membangun resistensi terhadap obat tersebut.
Sebenarnya resistensi antibiotik yang saat ini telah menjadi ancaman global dibuat oleh manusia sendiri. Berdasarkan jumlah faktor manusia yang terinfeksi, saat ini bakteri berkembang dalam skala yang lebih cepat dibandingkan yang mampu diatasi ahli farmasi. Hasilnya akan lebih banyak lagi orang yang mati setiap tahunnya akibat penyakit yang sebelumnya bisa diobati.
Ini bukanlah penyakit biasa yang disebabkan oleh resistensi antibiotik. Krisis ini dipercaya berdampak serius pada kesehatan. Misalnya, tanpa antibiotik yang mampu bekerja secara efektif, pengobatan kanker, transplantasi organ, bahkan operasi caesar untuk melahirkan anak dipercaya akan jauh lebih mematikan.
"Masalah ini tidak hanya berdampak pada negara maju yang menganggap operasi sebagai hal yang biasa. Tapi juga mempunyai dampak serius dan negatif pada negara berkembang yang diharapkan bisa membangun sistem kesehatan universal dalam beberapa dekade ke depan," kata Jim O’Neill dalam jurnal
Antimicrobial Resistance: Tackling a crisis for the health and wealth of nations. The Review on Antimicrobial Resistance.Kabar baiknya, para peneliti di seluruh dunia bekerja sama untuk membuat antibitoik baru sekaligus merancang cara untuk menghadapi infeksi tanpa antibiotik sebagai hal yang utama.
Faktanya, banyak peneliti dan masyarakat yang peduli dengan isu resistensi antibiotik ini. Hal ini menimbulkan sebuah optimisme. Kita semua memainkan peran untuk meyakinkan bahwa planet ini tidak akan kembali lagi ke dalam 'masa kelam dunia pengobatan'. Dan dengan tujuan untuk menyiapkan masa depan untuk anak-anak kita, inilah waktunya untuk tidak hanya menyadari tapi harus bertindak untuk mengatasi resistensi antibiotik.
(mer/mer)