Sindroma Penipu, Saat Wanita Tak Merasa Layak Atas Kesuksesan

Utami Widowati | CNN Indonesia
Senin, 02 Mar 2015 11:49 WIB
Istilah sindroma penipu muncul pertama kali dalam dunia psikologi pada tahun 1978 dalam naskah, The Imposter Phenoenon In High Achieving Women.
Ilustrasi wanita pengidap sindroma penipu (Thinkstock/Alliance)
Jakarta, CNN Indonesia -- Ketika Jon Stewart seorang pembawa acara di sebuah pertunjukan ternama, The Daily Show menyatakan akan pensiun, banyak orang yang langsung berspekulasi siapa yang akan segera menggantikannya.

Salah seorang yang disebut adalah seorang koresponden acara dengan banyak penonton itu Jessica Williams. Namun perempuan berusia 25 tahun itu langsung menulis di Twitter-nya menolak pencalonan tersebut. “Pertama saya bukan seorang host. Terima kasih tapi saya sangat jauh di bawah persyaratan untuk pekerjaan itu!” tulisnya.

Williams yakin penolakannya berdasarkan pemahaman akan diri sendiri bahwa dia memang belum pantas untuk jabatan itu.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Banyak yang kemudian mengkritik keputusan Wiliam yang dianggap mengabaikan kesempatan besar. Ada pula yang menyebut dia mengalami imposter syndrome atau sindroma penipu.

Sebenarnya apa itu sindroma imposter? Istilah ini muncul pertama kali dalam dunia psikologi pada tahun 1978 dalam sebuah naskah, The Imposter Phenoenon In High Achieving Women.

Penulis mendefinisikan sindroma ini sebagai yang menyerang wanita dengan “Pencapaian akademis dan profesional yang luar biasa, tapi sangat yakin bahwa mereka tak cukup cemerlang dan telah berhasil membohongi orang sekitarnya yang berpikir dia hebat.”

Tapi bukankah memang banyak perempuan dengan pencapaian prestasi yang baik yang mengalami kecemasan tentang hasil kerja mereka? Bagaimana membedakannya?

Penjelasannya demikian: orang dengan sindroma penipu, punya pola yang tetap. “Ketika Anda merasa tak pantas menerima kesuksesan yang Anda raih, menganggap semua itu hanya sebagai faktor keberuntungan atau karena berada di tempat dan waktu yang tepat,” kata Alexandra Levit, penulis buku Blind Spot: The 10 Business Myths You Can’t Afford to Believe dan salah satu konsultan admistrasi Presiden Obama.

“Bukan karena bakat Anda. Atau ada juga yang merasa mereka terlihat sukses karena mereka berhasil membohongi orang sekitar Anda padahal sebenarnya Anda adalah orang yang payah dan tidak kompeten.”

Menurut Levit ini akan menjadi masalah ketika perasaan tidak layak disebut sukses itu membuat orang tak layak meminta promosi, melamar pekerjaan, atau melewatkan banyak tantangan kerja lain. “Tapi jika Anda bisa menyingkirkan perasaan itu lantas melakukan saja tantangan kerja, Anda bukan orang yang cacat profesional atau pengidap sindroma penipu.”

Penelitian tahun 1978 menyebutkan fenomena ini hanya muncul pada perempuan. Lalu pada survei internal di Hawlett Packard beberapa waktu lulu terungkap fakta bahwa perempuan memang lebih rentan pada sindroma ini. Dalam buku Sheryl Sandberg, berjudul Lean In, wanita umumnya memang hanya melamar pekerjaan yang menurut mereka cocok 100 persen, sementara pada pria cocok 60 persenpun tetap akan membuat mereka maju untuk pekerjaan itu.

“Beberapa pria memang terkena sindrom ini juga, tapi pada wanita lebih sering,” kata Levit seperti dikutip dari laman Health. “Jika pada pria dan wanita sama-sama cocok 80 persen dengan sebuah pekerjaan, biasanya pria yang lebih percaya diri.”

Perempuan sering kali fokus pada 20 persen ketidakcocokan mereka dan bukan 80 persen kemampuan mereka akan pekerjaan itu. Uniknya ini benar-benar terjadi pada wanita yang ternyata sangat kompeten dalam pekerjaan mereka tapi tetap memikirkan pekerjaan itu. Sementara pada wanita yang sekadar tak cocok dengan pekerjaan, dan bukan pengidap sindroma penyaru, mereka dengan cepat melewatkan pekerjaan itu.

Untuk mengatasinya Levit menyarankan tiga langkah berikut:

1. Ungkapkan semua keberhasilan Anda dan bagaimana Anda mencapainya dalam sebuah tulisan. Letakkan di setiap tempat di rumah yang bisa dengan mudah Anda baca setiap hari.

2. Cari opini kedua. Cari pendukung atau mentor baru di lingkungan kerja yang bisa melihat kesuksesan dari sisi yang lebih objektif.

3. Cari waktu untuk merenung. Sebelum memasuki situasi yang menegangkan seperti presentasi atau rapat besar, ingatkan diri sendiri mengapa Anda layak berada disana, mulai dari pendidikan Anda, kemampuan dan berapa lama Anda berjuang untuk mempersiapkan pertemuan itu.

(utw/mer)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER