Mencari Kedamaian di Kaki Bukit Lengko Ajang

Windratie | CNN Indonesia
Rabu, 25 Mar 2015 10:01 WIB
Malam yang bising, berganti kedamaian di pagi yang dingin. Bukit-bukit di Desa Lengko Ajang masih berselimutkan kabut tipis saat matahari mulai menyapa.
Perjamuan menyambut kedatangan tamu dari Yayasan Kelola di rumah Emilius Darmai, warga desa Kelurahan Golowangkung, Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur. (CNN Indonesia/Windratie)
Jakarta, CNN Indonesia -- Malam yang bising, berganti kedamaian di pagi yang dingin. Bukit-bukit di Desa Lengko Ajang masih berselimutkan kabut tipis pagi itu saat matahari mulai menampakkan dirinya. Langit biru yang cerah menaungi barisan gunung dan lembah-lembah yang menghampar di wilayah Kelurahan Golo Wangkung, Kabupaten Manggarai Timur ini.

Di tanah yang menghampar luas, rumah-rumah yang sebagian besar masih berlantai tanah dan berdinding pelupuh, dan beratap seng tersebar. Pukul enam pagi, anak-anak berseragam sekolah bergerombolan sambil bersenda gurau. Meskipun ribuan mil jauhnya dari ibukota, denyut kehidupan di desa ini tak jauh berbeda.

Baru sebentar berdiri di depan pintu, ibu-ibu akan menyapa hangat, mengajak berbincang santai, 'kapan sampai di Manggarai?', 'dari mana?', 'kapan balik ke Jakarta?', seolah saya tetangga yang sudah bertahun-tahun tinggal di sebelah rumahnya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

“Ayo makan cantik.” Suara Mama Theresia memanggil dari belakang. Mungkin orang di sini terbiasa memanggil tamu perempuan dengan sebutan 'cantik'.

Theresia Maina adalah sosok perempuan sederhana. Dia memanggil dirinya dengan sebutan Mama There. Mama adalah istri dari Emilius Darmai. Suaminya itu, salah satu tokoh penting juga di desa Lengko Ajang yang aktif dalam berbagai pertemuan rakyat di desa.

Mama There dan keluarganya adalah penganut Katolik. Di dinding rumahnya terpatok foto sang suami dengan seorang pastor di sebuah gereja.

“Kami ini orang Islam tapi masuk ke Katolik, tidak makan semua daging-daging yang haram. Pokoknya jangan ragu-ragu makan di sini,” katanya.

Sarapan nasi dan dua menu ayam sudah rapi terhidang di meja ruang tamu, lengkap dengan satu teko kopi yang berasal dari biji kopi hasil tumbukan tangan Mama sendiri.

“Kami punya bapak dan nenek orang Islam, kalau mereka mau berdoa, pakai doa Islam. Tapi biar masuk Katolik kami tidak makan daging babi. Seperti Islam punya makan saja. Hewan yang sudah mati berarti tidak boleh dimakan.”

Mayoritas warga di desa Lengko Ajang beragama Katolik, sebagian kecil juga masih ada yang memeluk agama Islam. Meskipun hidup di dalam perbedaan, warga Lengko Ajang hidup berdampingan dalam kerukunan.

“Akrab, tidak pernah bermusuhan, tidak pernah selisih agama, seperti sahabat, adik, atau kakak. Kalau ada acara-acara orang Islam, orang Katolik sama-sama saja. Saling membantu,” kata Mama.

Iklim panas saat pemilihan politik yang terjadi di kota-kota besar tidak ada sama sekali di sini. “Kami dulu pilih Jokowi, seluruh kampung Kalo (pilih) Jokowi. Tahu lagi, hati nurani saja.”

Tanpa listrik yang mengalir di desa mereka, kabar kekisruhan politik pada masa itu barangkali hanya mereka dengar lewat cerita-cerita saja. Siapa menang siapa kalah pun tak jadi soal.

“Tidak ada selisih. Tusuk DPR, bupati juga tidak ada selisih. Habis tusuk selesai. Memang di kampung harus begitu, lain dengan kota besar. Orang kampung orang bodoh semua,” ucapnya bercerita.

Generasi harapan Golo Wangkung

Deretan bukit dan lembah curam yang menemani perjalanan menuju Golo Wangkung, kelurahan di Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur. (CNN Indonesia/Windratie)

Masyarakat Golo Wangkung adalah masyarakat yang beragam. Mayoritas penduduknya beragama Katolik, sebagian kecil beragama muslim. Meskipun tidak sebanyak gereja, sarana ibadah masjid juga ada di sini. Menurut Lurah Golo Wangkung, Petrus Sahadun, data statistik pada 2011 menunjukkan ada sekitar 207 warga dengan ekonomi ke bawah di Golo Wangkung.

Hampir sekitar tujuh puluh persen masyarakat Golo Wangkung dikategorikan miskin.

“Tetapi dari aspek perumahan, sudah semakin sedikit warga yang rumahnya beratap bambu, berdinding pelupuh, dan berlantai tanah.” Pembagian kamar salah satunya, kepala keluarga miskin biasanya memiliki standar rumah yang los atau tidak dibatasi oleh kamar.

Golo Wangkung sangat terisolasi. Meski begitu, masyarakat di kelurahan ini sangat sadar kesehatan. Kelurahan ini punya puskemas rawat inap dengan dokter dan perawat. Petrus berkata, hampir setiap masyarakat yang memiliki bayi dan balita pergi ke layanan posyandu.

Dari segi pendidikan, belum ada laporan diterima oleh pejabat kabupaten itu soal tingkat anak putus sekolah. Ada dua sekolah dasar di Golo Wangkung, sekolah dasar negeri dan sekolah dasar Katolik, dan satu SMP, yaitu SMP 1 St. Aloisius Lengko Ajang.

Kelurahan ini memang terpencil, tapi masih menyimpan sejuta harapan pada putra-putri desanya. “Kalau dilihat dari sejarah, dari Golo Wangkung ini sudah lumayan lah orang-orang besar, baik yang di Jakarta, di Kupang, di kelurahan-kelurahan di wilayah Nusa Tenggara ini. Sudah banyak hasil dari putra-putri kami orang Golo Wangkung ini.”

Merantau meninggalkan desa, menggeluti berbagai profesi membanggakan. Jadi pegawai negeri, wiraswasta, bahkan pejabat. “Sekretaris wilayah daerah NTT itu salah satunya dari sini. Orang nomor satu dari birokrasi NTT itu dari di sini,” ucap Petrus di Kantor Kelurahan Golo Wangkung dengan bangga.


(win/mer)
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER