Jakarta, CNN Indonesia -- “Saya bangun pagi-pagi jam empat. Saya menyapu, masak air, bikin kopi, lalu diberikan ke tamu. Pokoknya tamu bangun sudah beres semua. Ya, itu sekitar tahun delapan puluhan,” ucap Stephanus Leppa mengenang.
Baru tahun 2014 yang lalu, Stephanus merayakan ulang tahun ke-35 dia bergabung dengan Hotel Sindha, di Ruteng, Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur.
Karier Stephanus di Hotel Sindha dia mulai sebagai karyawan biasa. Dedikasinya tinggi, keramahannya terhadap tamu tak ada yang menyaingi. Kepercayaan penuh menjalankan operasional hotel kemudian dia dapatkan dari sang pemilik hotel terbaik di kota Ruteng, NTT itu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hotel Sindha sudah sejak lama menjadi rujukan para pejabat negara di Republik ini saat menginap di Manggarai Timur. Beberapa pejabat, seperti Mari Elka Pangestu dan Dahlan Iskan pernah bermalam di hotel di pusat kota Ruteng berhawa sejuk ini.
Stephanus menunjukkan salah satu bangunan di sisi sebelah kiri hotel. Sekitar tahun 1976, kamar hotel terbaik di Kota Ruteng ada di sana.
“Saya ingat waktu (mantan) menteri perumahan Pak Cosmas Batubara menginap di sana. Sekarang kalau saya bandingkan dengan kamar luks yang ada sekarang, wah, itu sudah yang terbaik dulu,” kata lelaki asal kota Maumere tersebut diiringi tawa hangatnya.
Harmanto Hati, lelaki keturunan Tionghoa yang asli dari Kota Ruteng, adalah perintis Hotel Sindha. Nama hotel yang indah itu berasal dari nama putri yang juga anak tertuanya, Sindha.
“Hotel ini dirintis oleh orang tua saya. Ini memang hotel pertama di kota ini. Tahun berapa (berdirinya) saya tidak ingat, tidak ada record-nya, sekitar tahun tujuh puluhan,” kata Sindha, perempuan yang lahir di kota Ruteng ini.
Waktu duduk di kelas tiga bangku sekolah dasar Sindha pindah ke Surabaya. Dia baru turun tangan mengelola hotel yang berukir namanya di gerbang hotel itu semenjak sang ayah wafat.
Hotel Sindha awalnya adalah sebuah gudang giling. “Bapak itu kalau muncul di mana-mana wah, bos beras dari Ruteng, toh,” ucap Stephanus yang membuka sebuah homestay nyaman untuk para backpacker sekitar 100 meter dari Hotel Sindha.
“Dulu kalau pengadaan beras untuk satu NTT orang tua Ibu Sindha yang urus semua. Jadi kalau pemerintah mau beras ya kita bikin di sini semua, (tempati ini) jadi gudang giling,” ucapnya menjelaskan.
Gudang giling itu dipindah ke tempat lain, lalu dibangun sebuah penginapan.
Hotel Sindha dulunya adalah penginapan yang sangat sederhana. Beberapa bangunan lama hotel masih berdiri di bagian belakang, yang sekarang menjadi kamar tipe standar dengan harga Rp 350 ribu per malam.
Cukup lama penginapan sederhana itu berdiri dengan kondisi apa adanya. “Kita pakai dengan apa yang ada saja,” kata Sindha. Secara bertahap Hotel Sindha terus memperbaiki diri. Satu, dua, dan tiga bangunan ditambah secara bertahap.
Ruteng pada saat itu adalah kota yang sepi. Kota yang dijuluki sebagai negri di atas awan ini terus berkembang dan menjadi ramai. Imbasnya, Hotel Sindha kerap kekurangan kamar. Sampai akhirnya beberapa gedung ditambah.
Saat ini, Hotel Sindha tengah berbenah. Bangunan depan, yang dulu adalah kamar hotel, sudah berubah menjadi restoran.
Ruteng memang belum setenar Labuan Bajo yang belakangan dibanjiri turis mencanegara. Kelak, jika wisata kota Ruteng semakin maju dan menarik kedatangan gelombang turis, banyak investor berduyun-duyun datang ke Ruteng, termasuk jasa perhotelan.
Jika Hotel Sindha tidak berbenah diri, predikatnya sebagai hotel terbaik Ruteng ini akan tersapu oleh hotel-hotel berbintang. Itu sebabnya peningkatan pelayanan dipikirkan matang-matang dari sekarang.
“Bukan cuma bangunan, tetapi pelayanan, fasilitas, semuanya. Jadi kami mengundang konsultan perhotelan untuk bantu membenahi,” kata Sindha.
Ke depan, sudah dipikirkan akan ada sport centre di hotel ini. “Daerah di sini enggak ada hiburan, enggak ada kegiatan apa-apa. Kebanyakan orang bisnis yang menginap di tempat kami. Pingin-nya sih kalau selesai kerja, ada aktivitas olahraga.”
Dari memiliki kamar yang amat sederhana, Hotel Sindha sekarang sudah memiliki beberapa tipe kamar. Standar, superior, deluxe, dan executive. “Ada kamar untuk pejabat-pejabat, yang eksekutif seharga 750 ribu,” kata Stephanus.
Jika pariwisata di Ruteng dapat ditingkatkan, akibatnya akan banyak tamu yang datang ke Hotel Sindha.
“Kalau tidak ada apa-apa di sini, mau apa orang ke sini, lewat saja, sekedar dibuat transit,” kata Stephanus dan Sindha, mereka kompak tentang masa depan pariwisata di Ruteng.
Tak sedikit tamu yang memuji fasilitas gedung dan pelayanan di Hotel Sindha.
“Banyak tamu-tamu yang datang bilang, wih, ini lebih bagus dari hotel ini di Labuan (Bajo), lebih bagus dari hotel ini di Maumere atau di Ende. Bukannya tidak puas dengan dia punya pujian, tapi kami ucapkan terima kasih saja,” kata lelaki yang tak pernah pelit menyapa dan berbincang dengan tamu-tamu di hotelnya.
Di tengah kian berkembangnya pariwisata di NTT, Flores, Hotel Sindha pun pasang target dalam bisnis perhotelan di pulau surga di sebelah Tenggara Nusantara itu.
“Kalau bisa ingin jadi market leader, bukan hanya di Ruteng tetapi di Flores,” kata Sindha optimis.
Sindha ingin agar ketika orang datang ke kota ini merasa dirinya diterima. “Ini kan kota kecil, jauh dari keluarga (mereka), transporasi juga sulit. “Jadi kalau sudah sampai di sini ingin mereka merasa nyaman, aman, kerasan.”
Tamu di Hotel Sindha rata-rata adalah orang-orang yang sudah sepuluh tahun lalu datang, “dia pasti ingin menginap lagi di sini,” kata Stephanus.
Sindha menimpali, “Itu juga berkat keramahan, hospitality-nya Om Steph.”