Jakarta, CNN Indonesia -- Hampir semua perempuan punya penyakit rutin setiap bulan. Setiap memasuki fase menstruasi, perempuan kerap kali mengalami nyeri perut atau biasa disebut nyeri haid.
Meski setiap nyeri yang diderita tidak sama tingkat kesakitannnya, namun hal tersebut sangat mengganggu aktivitas perempuan. Bahkan, saking sakitnya nyeri tersebut, aktivitas sehari-hari bisa terganggu, dan membuat perempuan hanya berbaring di atas tempat tidurnya.
Salah satu orang yang pernah mengalami tersiksanya nyeri haid adalah Sophia Hage. Perempuan yang juga berprofesi sebagai dokter ini juga dulunya menderita gangguan haid yang parah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya pernah nyeri sampai muntah, migrain. Bahkan photophobic, enggak bisa ngelihat matahari, enggak bisa lihat televisi," kata Sophia dalam sebuah acara di Balai Kartini, Jakarta.
Sophia mengaku tidak bisa keluar rumah kala itu. Tak jarang kegiatannya yang saat itu masih menjadi mahasiswa terganggu.
Sophia tentunya tidak sendiri. Di Indonesia sebanyak 72 persen perempuan Indonesia mengalami masalah kewanitaan, dan 62 persen di antaranya adalah nyeri haid.
Sementara di negara maju seperti Amerika, ada 30-50 persen perempuan yang mengalami nyeri haid.
Dokter spesialis obstetri dan ginekologi, Ardiansjah Dara mengatakan, ada beberapa masalah yang biasanya dialami perempuan saat datang bulan.
"Ada literatur yang mengatakan masalah yang dihadapi saat menstruasi bisa berupa gangguan pada diri penderita dan keluarga, kerugian industri dan komersial, bahkan kerugian ekonomi nasional," kata Dara menjelaskan.
Ia mengatakan, rasa nyeri haid yang diderita perempuan bisa merenggut produktivitasnya. Apalagi saat ini banyak perempuan mempunyai karier yang cemerlang. "Kesempatan bekerja maksimal jadi hilang," ujarnya
Bahkan Amerika bisa sampai kehilangan US$ 2 miliar atau sekitar Rp 25 triliun akibat penduduk perempuannya tidak produktif karena nyeri haid. "Ini momok yang terjadi bulanan," kata dokter Dara.
Tak hanya Amerika, di Swedia, nyeri haid bisa membuat pendapatan para perempuan menurun. "Di Swedia, 30 persen perempuan pekerja insustri menurun penghasilannya, sedangkan pengeluarannya bertambah karena sering memakai obat analgesik," kata Dara menjelaskan.
(win/mer)