Jaffna, CNN Indonesia -- Lepas dari tempat pemandian Keerimalai setelah satu jam menanti bus, plus satu jam perjalanan kembali ke Jaffna, saya akhirnya sampai kembali ke Jaffna. Waktu menunjukkan pukul tiga sore ketika saya terbangun dan bis sampai di pemberhentian terakhir di terminal bis Jaffna.
(Baca juga: Kejutan Panorama dan Kehangatan Pemandian Keerimalai) Saya melangkah menyusuri jalan, udara terasa cerah. Sangat berbeda dengan angin dan hujan yang menyambut saat pertama kali saya melangkah di kota Jaffa sehari sebelumnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berinteraksi dengan warga lokal merupakan jiwanya sebuah perjalanan, membuka pikiran dan wawasan baru, membuat kita menjadi lebih terbuka dan menghargai perbedaan-perbedaan. Itulah kenapa saya selalu memilih berinteraksi dengan warga lokal saat travelling dibandingkan dengan wisatawan asing.
(Baca juga: Mencari Jaffna, Tempat Konflik Masih Mungkin Meletup) Dari hasil perbincangan dengan penjaga hostel yang juga warga setempat, saya memutuskan untuk mendatangi kuil Nallur Kandaswamy. Saran sang penjaga tak salah karena kebetulan hari itu adalah hari pertama dari tiga hari rangkaian festival besar tahunan umat Hindu.
Nallur Kandaswamy Kovil atau Nallur Murugan Kovi adalah salah satu kuil Hindu yang paling besar dan penuh sejarah yang terletak di pinggiran kota Jaffna. Menurut
Yalpana Vaipava Malai, sebuah buku yang ditulis pada 1736 oleh sastrawan Jaffna bernama Mayilvagana Pulavar, kuil Nallur Kandaswamy Kovil dikembangkan pada abad ke-13 oleh Puvenaya Vaku.
Puvenaya Vaku adalah seorang menteri pada era Raja Kalinga Magha yang memimpin kerajaan Jaffna. Nallur Kandaswamy diperuntukan sebagai ibu kota kerajaan Jaffna. Pada tahun 1729, kuil ini sempat dipugar di masa pemerintahan kolonial Belanda oleh Krishna Suba Iyer dan Ragunatha Maapaana Mudaliyar.
Gotong royong mengangkat replika kuil.Turun dari bus, saya menyewa bajaj untuk menuju kuil Nallur Kandaswamy, sesampainya jalanan di sekitar kuil mulai ramai dipenuhi umat yang akan beribadah, pedagang kaki lima yang menjual aneka rupa perlengkapan ibadah serta makanan dan minuman yang menutupi ruas jalan utama.
Memang pada saat festival tahunan ini, jalanan sengaja ditutup untuk memberikan kenyamanan serta hiburan bagi masyarakat yang akan berkunjung ke kuil. Saya mengeluarkan kamera mengabadikan momen menarik dari warga lokal yang ada di sekitar kuil.
 Festival tahunan di kuil Nallur Kandaswamy biasanya dilaksananakan sekitar bulan Juli-Agustus pada tanggal 23-25 penanggalan Hindu. Para penari berputar-putar membawa sesajian dan menandu replika kuil sampai tak sadarkan diri. (CNN Indonesia/Safir Makki) |
Matahari yang bersinar terik dan cerah sore itu memang mendukung kedatangan saya ke kuil Nallur Kandaswamy, cahaya dan bayangan membentuk karakter pada subyek yang saya foto, membuat warna-warni pada bangunan semakin kuat, warna-warni pakaian sari terlihat indah diterangi cahaya matahari.
Pedagang es krim menuai rezeki sore itu, penitipan sepatu dan sandal sibuk memasukan alas kaki pengunjung ke dalam rak, pedagang dupa dan perlengkapan sembahyang pun berseri manakala pengunjung membeli.
Untuk memasuki kuil Nallur ini, para pengunjung lokal maupun asing diwajibkan melepaskan alas kaki, dan untuk pengunjung pria diwajibkan juga untuk melepaskan baju. Saya pun ikut senang berbaur dengan masyarakat, menyaksikan langsung sebuah perayaan di kuil ini. Tanpa henti Aroma khas dupa mengalir dan terhirup.
Seusai umat bersembahyang tibalah arak-arakan dimulai di dahului dengan tari-tarian tradisional Tamil. Ratusan umat mulai memadati lapangan memegang tali tambang secara bersamaan untuk mengangkat replika kuil Nallur. Di sisi lainnya sekelompok orang membawa tombak api berputar-putar.
Hiruk pikuk ribuan warga menyatu dalam puja dan doa saat mengiringi arakan replika kuil, sayapun melebur dalam kerumunan pengunjung, mencari celah untuk dapat mengikuti dan memotret ritual ini.
Senja menjemput, kerlap-kerlip dari replika kuil Nallur menambah semarak, masyarakat yang datang semakin banyak. Merasa cukup mengabadikan momen ini, saya keluar dari Kuil Nallur Kandaswamy. Tapi ini bukanlah perkara mudah, saya harus menghadapi sesaknya pengunjung yang berdatangan.
Dengan tas ransel berisi peralatan kamera yang sengaja saya peluk untuk menghindari copet, saya ikut berjejalan di sela-sela gelaran pedagang di sepanjang jalan, meniti beton selokan. Itulah cara terbaik untuk keluar dari kuil, jika tidak mungkin saya akan terjebak di sana sampai larut malam menahan lapar dan kelelahan.
(moh/utw)