Teknologi Bedah Otak: Satu Pasien Ditangani 19 Dokter

Windratie | CNN Indonesia
Senin, 10 Agu 2015 13:34 WIB
Pasien masalah otak yang berobat kepada Prof Eka Wahjoepramono akan diberitahu, mereka  dirawat oleh tim, bukan dokter perorangan.
Prof Eka mengatakan, dia cukup puas dengan pengakuan internasional yang didapatnya setelah pembedahan batang otak pada 2001. (pixologicstudio/Thinkstock)
Jakarta, CNN Indonesia -- Saat menuju ruang praktik Eka Julianta Wahjoepramono (56), sulit menyangka bahwa itu adalah ruangan seorang profesor bedah saraf. Di ruang tunggu, foto-foto Prof Eka bersama puluhan pasiennya, memenuhi dinding ruangan.

Dalam sebuah bingkai foto yang terpasang memenuhi satu sisi dinding, terpajang kumpulan foto seorang pasien muda, tanpa sehelai rambut di kepalanya, sedang memeluk Prof Eka dengan penuh kehangatan.
Begitu masuk ke ruangan Prof Eka, benda-benda kenangan, dari foto, kartu dengan tulisan tangan yang panjang, serta surat-surat para pasien, semua terpajang rapi di rak kayu di ruangan Eka berdekor klasik yang megah dan nyaman.

Di sisi dinding sebelah kanan, puluhan piagam penghargaan dari berbagai universitas di penjuru dunia terpajang apik.  

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

“Mulanya, pasien meminta foto bersama saya. Ketika mereka pulang dari rumah sakit, biasanya foto tersebut diberikan pada saya. Sampai akhirnya, jumlahnya sudah kebanyakan. Tadinya foto-foto dan kartu-kartu ini ingin saya simpan di gudang,” kata dokter pendiri Yayasan Otak Indonesia tersebut kepada CNN Indonesia, di Rumah Sakit Siloam, Lippo Karawaci, Banten.

Namun, seorang pasien mengatakan, dia bersedia dioperasi oleh Eka setelah melihat foto-foto di ruangan Eka tersebut. 
“Ada sekitar ratusan pasien mempercayakan hidupnya kepada saya. Masa saya tidak menghargai pemberian mereka, kasarnya seperti itu. Itu sebabnya kenapa saya pasang benda-benda ini.”

Eka berkata, kadangkala pasien merasa ragu untuk melakukan operasi. Itu alasannya kenapa dipasang foto-foto, yang kata Eka sudah seperti pameran tersebut. Bagi pasien-pasien dokter Eka, foto-foto tersebut memiliki hikmah yang menguatkan mereka untuk tidak takut menjalani operasi.

Bagi Eka sendiri, foto-foto dan kartu-kartu ucapan tersebut merupakan penghiburan. “Kadang-kadang jika sedang jenuh dengan kondisi pasien yang jelek-jelek, saya melihat semua ini, sejujurnya ada hiburan. Kata-kata pasien yang secuil itu, bagi saya hal itu dapat membesarkan hati kembali.”

Eka mengatakan, dia memang senang menjalin perhabatan. Tidak hanya ramah, lelaki asal Klaten, Jawa Tengah ini, saat berbicara juga menghormati lawan bicaranya. Dia akan bertanya lebih banyak, mendalami lawan bicaranya lebih jauh, saat pertama kali berjumpa. Mungkin itu sebabnya, Prof Eka menjadi dokter favorit dengan antrean pasien yang panjang.

Prof Eka mengaku, dia sudah cukup puas dengan pengakuan internasional yang didapatnya semenjak kesuksesan pengangkatan tumor dari batang otak yang dikerjakannya pada 2001. Namun, ada satu hal yang ingin terus dikembangkan Prof Eka, yaitu sebuah sistem pengobatan.

Eka mengatakan, pasien yang datang berobat kepadanya, diberitahu mereka akan dirawat oleh tim, bukan dokter perorangan. “Karena nomor satu, personal itu enggak mungkin dari segi waktu, apalagi jika sedang banyak sekali pasien. Sehingga dia harus setuju. Pasien harus tanda tangan bahwa yang merawat dia adalah tim,” kata Eka menjelaskan. 

Nomor dua, tidak mungkin ketika Prof Eka sedang melakukan operasi, dan terjadi sesuatu pada pasien tersebut, pasien tersebut menunggu. “Yang paling bagus ya ada tim yang melihat. Jadi sejak awal pun tim sudah tahu, oh ada pasien a, b, c, dan d.”

Dalam artian, pasien tidak bisa minta semaunya, tetap harus ada aturan, meskipun aturan tersebut tetap untuk kepentingan pasien. “Habis selesai operasi saya keluar negeri bagaimana coba? Misalnya, dokter tersebut cari dokter lain, 'tolong dong lo gantiin saya', kaya supir tembak. Ini kan juga tidak bagus karena dia tidak ngerti ceritanya dari mula,” ucap Eka menjelaskan. 

Itu sebabnya, ketika berada di luar negeri, Eka tidak terus memantau pesan di ponsel pintarnya. Seluruh jaringan tempatnya bekerja, secara nasional, ada sekitar 19 tim dokter bedah saraf yang bekerjasama dengan Eka dan timnya di Jakarta. Di dalam sistem tersebut, ada lima dokter bedah saraf senior yang ilmunya berbeda-beda.

Setiap pasien yang datang karena penyakit yang berhubungan dengan otak, di rumah sakit tempat Eka bekerja, akan diperiksa oleh 19 dokter, kata Eka. “Jadi jika ada pasien di Palembang, data-data dan kondisi pasien tersebut akan diinformasikan lewat pesan di Blackberry atau What'sApp. Lalu, apakah perlu operasi atau tidak akan diputuskan bersama.”

Saat ini begitu mudahnya pasien mencari opini kedua dengan adanya teknologi internet. Eka bercerita tentang pasiennya yang berasal dari kalangan berpendidikan tinggi. Pasien tersebut jatuh dari ranjang dan mengalami patah tulang leher. Eka menyarankan untuk menjalani operasi.

“Dalam hitungan jam dia bertanya kepada saudaranya di Australia, dan dokter lain di seluruh dunia. Jadi, Eka menjamin setiap rekomendasinya untuk pasien.

“Kami menjamin bahwa jawaban kami sudah pasti international standarnya. Itu yang kami mau. Di mana pun ada risiko. Orang meninggal ya bisa saja, tapi saya garansi yang kita lakukan itu pasti sama, begitu yang saya katakan kepada pasien.”

Yayasan Otak Indonesia

Semenjak peristiwa pengangkatan tumor dari batang otak seorang kuli angkut nelayan pada 2001 yang lampau, banyak masyarakat dari kalangan ekonomi menengah ke bawah yang datang menggantungkan harapan kesembuhan pada Eka. “Minimun kalau pasien itu tidak mampu, dokter tidak akan minta satu rupiah pun kata Eka.”

Berdasarkan kepedulian tersebut, Eka pun mendirikan Yayasan Otak Indonesia sekitar 2001, tak lama setelah kesuksesan pembedahan batang otak yang dikerjakan Eka. Fungsi dari yayasan tersebut banyak, kata Eka. Selain untuk edukasi, yang fungsi utamanya adalah untuk membantu masyarakat tidak mampu yang memerlukan operasi otak.

“Dalam arti, semua pasien yang datang yang tidak mampu secara finansial dan prospeknya bagus kita selalu bantu free. Itu sudah komitmen kami. Supaya fair-lah. Itu sebabnya kami membuat Yayasan Otak Indonesia.

(win/mer)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER