Kelumpuhan dan Kematian, Risiko di Balik Sayatan Pisau Bedah

Windratie | CNN Indonesia
Senin, 10 Agu 2015 11:23 WIB
Pada 2009, Prof Eka tersandung kasus malpraktik. Baginya, dituntut orang sudah risiko dari profesinya sebagai seorang dokter ahli bedah saraf.
Prof Eka mengatakan, dia cukup puas dengan pengakuan internasional yang didapatnya setelah pembedahan batang otak pada 2001. (stevepb/Pixabay)
Jakarta, CNN Indonesia -- Sukses melakukan pengangkatan tumor di batang otak, membuat Eka Julianta Wahjoepramono dikenal oleh para spesialis bedah di tingkat internasional. Dalam berbagai kesempatan dia berbicara di depan mahasiswa fakultas kedokteran dari berbagai belahan dunia untuk menyampaikan ilmu teknik pembedahan batang otak, sepotong organ sensitif yang tak lebih besar dari buah anggur.

Cerita hidup Eka sebagai seorang ahli bedah otak tak luput dari kerikil cobaan. Pada 2009, Eka pernah tersandung kasus malpraktik. Baginya, dituntut orang sudah risiko dari profesinya sebagai seorang dokter ahli bedah saraf.
Eka menceritakan peristiwa tidak mengenakkan tersebut. Ketika itu, Eka melakukan operasi tulang belakang pada salah seorang pasiennya. Namun, saat dilakukan tindakan, saraf pasien tersebut sedikit tersenggol sehingga mengakibatkan kelumpuhan parsial. "Parsial dalam arti, agak sulit berjalan," ujar Eka.

Lelaki itu menuntut Eka sejumlah uang yang nominalnya sangat besar. “Haknya dia untuk menuntut. Dia menuntut Rp 200 miliar.  Coba, orang bisa mengasumsikan sendiri orang macam apa dia,” kata Eka mengungkapkan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Saat itu, tuntutan dilayangkan tidak cuma kepada Eka, tapi juga seorang juniornya. “Sampai dia syok berat, stres setengah mati. Tapi saya masih percaya ada kebenaran,” kata Eka optimis. Sejak awal Eka selalu mengatakan kepada pasiennya, akan ada risiko dari operasi tersebut. Itu sebabnya, sebelum dilakukan tindakan operasi, pasien harus menandatangani kesepakatan dulu.
“Bahwa ini operasi berisiko kelumpuhan, bahkan kematian. Itu kan bisa saja terjadi. Semua di dunia tidak ada yang garansi.” Oleh karena itu, pasien harus tanda tangan bahwa dia mengerti jika ada risiko dari operasi pembedahan. “Dan orang itu tanda tangan,” ujar Eka saat berbincang dengan CNN Indonesia, beberapa waktu yang lalu.

Eka mengakui, peristiwa tersebut sempat membuatnya stres. Namun, Eka yakin akan prosedur yang dijalankannya, dia menolak untuk mengalah. “Ini kan bukan saya sendiri, tapi jutaan dokter di Indonesia. Kami tidak mau mengalah, jadi mari kita berproses hukum,” katanya melanjutkan. Pada akhirnya, gugatan pasien yang menuntut Eka tidak terbukti, dia dan rekannya tersebut menang dalam proses hukum di Mahkamah Agung.  

Pada saat itu, kasus ini menjadi sorotan banyak media. “Meskipun belum ada keputusan,  tapi sudah banyak pemberitaan mengenai kasus ini.” Namun, Eka mengontrol diri untuk tidak bercerita banyak. “Saya tidak ngomong sama sekali sama pers.”

Beberapa orang mengatakan, kariernya akan celaka. Ternyata tidak, katanya. “Dalam arti, orang yang datang makin banyak saja, dan saya sampai bingung menampungnya. Kembali lagi, masyarakat menilai sendiri,” ucap Eka.

Beberapa pasien memang bertanya kepadanya. Eka menjawab sejujurnya, “Iya memang benar dia lumpuh. Tapi dia lumpuh kira-kira beberapa bulan,” jawab Eka pada pasien-pasiennya. Hanya saja, ketika pasien datang, Eka akan mengatakan bahwa itu adalah risiko. “Terserah mau risiko operasi atau risiko tidak operasi."

Namun, akhirnya pasien dapat mengerti. Dalam setahun saja, ada sekitar 1500-an penyakit otak saraf yang ditanganinya. “Dalam arti, orang semakin percaya kepada saya.”

Sebagai ahli bedah saraf otak yang diberikan kepercayaan sedemikian besar oleh pasien, bagi Eka kepercayaan tersebut luar biasa mahal. “Saya tidak akan mengatakan 'I do my best', tapi 'I do everything'. Tidak seorang pun bisa janji akan seperti apa akhirnya, kata Eka.

Ini adalah masalah kepercayaan yang luar biasa mahal. “Apalagi kalau pasien itu datang jauh-jauh, pindah dari rumah sakit luar negeri ke sini, aduh bagi saya itu mahal banget.” Bagi para suster, menurut Eka, dirinya adalah sosok yang menakutkan. “Saya tidak mau ada satu pun sesuatu yang teledor. Saya kontrol sendiri semuanya. Bagi orang lain, saya barangkali mengerikan. Karena saya itu maunya perfect."

Oleh sebab itu, ke manapun Eka pergi ketika mengikuti sebuah konferensi kedokteran di luar negeri, dia selalu mengakses pesan-pesan lewat aplikasi percakapan di telepon pintar. “Blackberry saya harus on terus. Memang begitu sifat saya. Saya tidak bisa meninggalkan pekerjaan betul-betul full,” kata lelaki yang mengambil pendidikan dokter umumnya di Universitas Diponegoro, Semarang, itu.  

“Nomor handphone saya itu dikenal orang se-Indonesia.”

Maksud Eka, siapa saja orang yang bertanya kepadanya pasti akan dijawabnya. Asalkan, orang tersebut mengajukan pertanyaan yang layak. “Tapi kalau pertanyaannya tidak proper, saya biarkan saja.”

Eka mengaku, dia senang bekerjasama dengan pasiennya. “Pasien itu rata-rata setelah selesai akan jadi teman. Jadi ke mana pun juga kalau ketemu pasien, kami bisa makan bareng. Saya seneng sekali menjalin persabatan di mana-mana. Sehingga siapapun yang tanya, pasti kalau proper saya jawab.”


(win/mer)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER