Jakarta, CNN Indonesia --
Dulu, dalam sejarahnya, teknologi kedokteran di Indonesia belum terlalu dikenal. Tak sedikit pasien dari golongan ekonomi ke atas mencari pengobatan terbaik ke luar negeri. Kondisi demikian sudah menjadi isu umum. Yang memprihatinkan adalah, tidak ada kepercayaan dari orang-orang Indonesia untuk dokter-dokter di negerinya sendiri.
Keadaan tersebut membuat seorang dokter bernama Eka Julianta Wahjoepramono gelisah.
“Ketika saya belajar di luar negeri, saya berpikir, kok begitu ya.
What's wrong with us?” ujar dokter yang mendapat gelar sebagai Doctor of Philosophy of Biomedical Science di Edit Cowan University (ECU), Perth, Western Australia. Namun, menurutnya, situasi tersebut bukan kesalahan pasien.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Eka Julianta Wahjoepramono (56), adalah seorang ahli bedah saraf (neurosurgeon) pendiri Yayasan Otak Indonesia. Namanya dikenal luas sejak dia melakukan pengangkatan tumor di batang otak pertama di Indonesia pada 2001. Setelah itu, Museum Rekor Indonesia mengukuhkannya sebagai dokter pertama dan satu-satunya di Indonesia yang berhasil membedah batang otak pasien.
Timbul tekad dalam diri Eka untuk mengubah kepercayaan orang Indonesia terhadap teknologi kedokteran negerinya sendiri. “Kita harus melakukan sesuatu sehingga menimbulkan kepercayaan orang Indonesia sendiri.” Bahkan kalau bisa, lanjut Eka, orang dari negara lain yang percaya kepada Indonesia. “Bangsa kita harus maju untuk urusan teknologi otak.”
Operasi batang otak pertama di Indonesia
Batang otak adalah organ yang sangat sensitif. Menurut lelaki yang menempuh pendidikan dokter umum di Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro tersebut, belum ada dokter melaporkan pembedahan batang otak yang tercatat secara jelas.
Diceritakan oleh Eka, pada 2001, datang seorang pasien dalam kondisi lumpuh kepadanya. Pasien berusia 22 tahun, pemuda yatim piatu dari Anyer, Banten tersebut, diantar tetangganya dalam kondisi menyedihkan.
“Tiba-tiba dia lumpuh, matanya melotot, enggak bisa ngomong, napasnya tersengal-sengal, pokoknya kritikal sekali,” ucap Eka. Setelah dilakukan pemeriksaan MRI (magnetic resonance imaging), baru diketahui ada tumor yang pecah.
“Tumor itu adalah jenis tumor tertentu di batang otak yang dulunya orang enggak mungkin untuk dioperasi. Tumor itu pecah sehingga mendadak dia seperti itu.” Menurut Eka, tumor tersebut sudah lama berada di batang otak lelaki yang bekerja sebagai kuli nelayan itu. Namun, tak ada gejala yang dia rasakan, sampai akhirnya menjadi pecah.
Tumor otak langka
Batang otak merupakan pusat dari otak yang ukurannya sebesar jempol orang dewasa, kata Eka yang mengaku baru pertama melihat tumor jenis tersebut ketika itu. “Sejujurnya saya ngomong, I have never seen before,” katanya.
Dia menjelaskan kondisi tersebut kepada kakak pasien. Eka mengaku, operasi batang otak belum pernah dia lakukan sebelumnya, tapi pemuda tersebut dalam kondisi yang amat kritis sehingga dia harus berbuat sesuatu untuk menolongnya.
“Of course we have to help. Kalau urusan begitu kita pasti tolong. Tapi masalahnya, siapa yang akan membayar rumah sakitnya?” ujar Eka.
Setelah mendapat izin dari keluarga, Eka melakukan operasi pembedahan batang otak. Masalah pembayaran rumah sakit pun selesai setelah menelepon seorang pejabat rumah sakit. “Nah beliau setuju, semua biaya rumah sakit beliau yang bayar. Kami dokter enggak dibayar,” kata Eka menjelaskan.
Setelah dioperasi, Eka mengatakan, kondisi pasien luar biasa bagus. Pemuda itu bisa berjalan dan bekerja kembali. Setelah dicek semua tumornya hilang total. Kesuksesan operasi tersebut tercatat dengan baik dalam dokumen lengkap.
Simposium di Bali
Ketika ada simposium di Bali, Eka mempresentasikan kesuksesan pembedahan batang otak yang dilakukannya. “Grup bedah itu kalau mau berbicara di depan umum mesti ada datanya, tidak bisa sekadar ngomong, 'mana sih yang kau lakukan?' Ini gambarnya before surgery, after surgery.”
Sejak saat itu, secara luas dunia mengetahui bahwa Indonesia mampu melakukan pembedahan batang otak yang dikenal amat berisiko. Selanjutnya, Eka kerap diundang untuk memberikan kuliah kedokteran di berbagai universitas ternama di dunia.
Di antaranya, menjadi visiting profesor di Harvard Medical School, Masschuset, Amerika Serikat; Taiwan National University, Melbourne University – Royal Melbourne Hospital, Australia; Tokyo's Women Medical University; Klinikum Bogenhousen Munchen Jerman; Department of Neurosurgery, John Radcliffe Hospital, Oxford University, Inggris, dan masih banyak yang lainnya.
Bahkan, di ruang tunggu pasien, Eka meletakkan sebuah bola dunia berukuran besar. Tertulis di situ, 'Eka's World Lecturer'. Bola dunia raksasa tersebut menandai kota-kota di penjuru dunia yang telah Eka kunjungi dalam rangka memberikan kuliah.
Hikmah di balik pembedahan batang otak
Ada lagi hikmah di balik operasi batang otak pertama yang Eka lakukan. Sejak operasi tersebut, batang otak yang dulu merupakan barang kramat, sekarang menjadi hal yang biasa dalam pembedahaan otak. “Setelah peristiwa anak lak-laki itu, kasus berikutnya datang secara bertubi-tubi.
Saat ini, total telah ada hampir sekitar 50 pasien yang telah dioperasi oleh Prof Eka bersama tim bedahnya. Angka tersebut terbilang cukup tinggi. “Center (pusat bedah otak) kita hampir 20 tahun berdiri. Sementara, pusat bedah otak di Eropa atau tempat lainnya yang mungkin sudah berumur ratusan tahun baru melakukan operasi (batang otak). Jadi relatif cepat progresnya.”
Setelah operasi itu, pemuda yang menjalani operasi batang otak tersebut berkunjung sesekali sebagai tanda bahwa dia tak melupakan jasa dokter yang telah menyelamatkan jiwanya. “Pemuda itu datang setahun sekali bawa singkong sama ikan asin. Dia itu istilahnya totally cured. Jadi dia betul-betul lucky guy.”
(win/mer)