Rahasia Hidup dan Mati di Bawah Tajamnya Pisau Bedah

Windratie | CNN Indonesia
Rabu, 05 Agu 2015 15:32 WIB
Bagi Profesor Ilmu Saraf Eka Julianta Wahjoepramono ilmu bedah otak adalah yang paling menantang.
Menjadi seorang dokter bedah saraf kebanggaan Indonesia adalah hal yang sebelumnya tak pernah terbayangkan oleh Prof Eka Wahjoepramono. (CNN Indonesia/ Windratie)
Jakarta, CNN Indonesia -- Eka Julianta Wahjoepramono (56) barangkali hanya segelintir dari dokter di Indonesia yang tak pernah lelah untuk berbagi ilmu. Saat ini,  Eka yang menjabat sebagai Dekan di Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan, hampir tiap bulan terbang ke luar negeri untuk memenuhi undangan sebagai visiting profesor.

Semenjak keberhasilannya melakukan operasi pengangkatan tumor pada batang otak 2001 silam, Eka memang kerap diundang memberikan kuliah yang sebagian besar tentang pembedahan batang otak. Eka pantas berbangga, karena dia selalu menjadi perwakilan Asia yang berbicara tentang teknologi bedah batang otak.
“Nanti minggu depan saya bicara di Singapura, bulan depan di Amerika, lalu di Roma, di  China. Semua itu topiknya itu (pembedahan batang otak).” Saat ini Eka merupakan anggota dari komite edukasi World Federation of Neurosurgical Societies. Posisi tersebut mengharuskannya berkeliling ke luar negeri untuk memberikan kuliah.

Menjadi seorang dokter bedah saraf kebanggaan Indonesia adalah hal yang sebelumnya tak pernah terbayangkan oleh Prof Eka, begitu ia akrab disapa. Lahir di Klaten, Jawa Tengah, 27 Juli 1958 silam, sejak kecil Eka memang sudah bercita-cita menjadi seorang dokter.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Cita-cita tersebut tumbuh ketika dia melihat seorang tetangganya yang berprofesi sebagai dokter. “Saya lihat tetangga saya itu enggak sekadar kerja, tapi dia juga menolong orang, ada unsur-unsur dari segi sosial seperti itu. Saya terus terang terinspirasi oleh dokter itu,” kata Eka saat diwawancarai CNN Indonesia di Rumah Sakit Siloam, Lippo Karawaci, Banten, beberapa waktu yang lalu.  

Eka lalu menempuh pendidikan dokter umum di Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang, pada tahun 1977. Setelah mempelajari ilmu kedokteran umum dan lulus pada 1983, Eka semakin yakin memilih ilmu bedah. Baginya, lewat ilmu bedah, masalah-masalah penyakit dapat langsung diselesaikan.

“Bedah itu begitu, ya atau tidak, kira-kira begitu. Saya enggak suka yang kondisinya muter-muter, sakitnya enggak sembuh-sembuh. Kalau bedah itu kan iya atau tidak. Keputusannya harus jelas.”

Bagi Eka, ilmu bedah otak adalah yang paling menantang. “Paling rumit. Benar-benar urusan mati dan hidup,” kata Eka melanjutkan. Bedah di otak berurusan dengan hidup dan mati, serta cacat atau tidak cacat. Ini tantangan luar biasa bagi Eka.

Selama pendidikan bedah saraf di Universitas Padjajaran, Bandung, Eka dikirim untuk belajar ilmu bedah saraf ke Jerman dan Jepang. Di sana, dia terinspirasi banyak hal dalam ilmu kedokteran yang rupanya Indonesia masih tertinggal jauh. Hal tersebut membuka matanya, dia berprinsip bahwa Indonesia juga harus bisa berkembang dalam bidang teknologi kedokteran.

Eka mengatakan, sebelumnya dia sendiri belum pernah mempelajari pembedahan batang otak. Itu disebabkan karena langkanya kasus tersebut, kata Eka menjelaskan.

“Selama saya di luar negeri pun saya belum pernah melihat kasusnya ataupun melihat operasinya. Jadi kembali lagi, itu (bedah batang otak) memang jarang, dan langka, dan sulit. Tingkat risiko sangat tinggi,” ucapnya menegaskan.

Eka menganalogikan otak yang seperti kabel. “Kabel itu kan terpilin muter. Di batang otak itu namanya central kabel. Jadi batang otak itu ibarat pusat kabel. Jadi kalau itu (batang otak) rusak total, maka pasien pasti meninggal. Kerusakan sekian persen akan menyebabkannya lumpuh. Wah, itu banyak sekali akibatnya. Jadi barang itu terlalu rumit.”

Selain dikenal karena tindakan pembedahan batang otak, sebelumnya Eka juga dikenal karena melakukan pembedahan tumor otak melalui batang hidung, atau yang disebut sebagai trans clival. Teknik tersebut sudah lama diterapkan dalam ilmu bedah otak.

Eka mengatakan bahwa dia bukan pelopor teknik bedah tersebut, tapi memang pernah melakukan beberapa modifikasi pembedahan lewat batang hidung.

“Sebetulnya, ada jenis tumor tertentu yang kita memang operasi lewat hidung karena lokasinya, misalnya tumor otak. Otak sendiri, yang letaknya di bagian dasar, dekat dengan ujung lubang hidung. Itu bukan yang pertama, tapi dimodifikasi.”

Sementara, brainstem surgery atau operasi batang otak yang pertama kali dilakukannya pada 2001 memang dianggap sebagai sebagai terobosan spektakuler dalam pembedahan otak. “Brainstem itu batang otak, jadi operasi membuka batang otak. Di Asia Tenggara saya enggak tahu siapa yang mampu, tapi itu barang yang langka yang orang lain enggak bisa.”

Prinsip Eka, dan yang menjadi filosofinya, bahwa dia dan timnya harus dapat melakukan semua teknologi pembedahan. “Bahwa semua teknologi pembedahan harus bisa kami lakukan. Jadi kasarnya itu, tidak ada kasus yang kita kirim ke luar negeri.”


(win/mer)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER