Singapura, CNN Indonesia -- Nama chef Tetsuya Wakuda bukan nama sembarangan di dunia kuliner. Tetsuya adalah pemilik restoran Tetsuya's di Sydney, Australia dan juga Waku Ghin di Singapura.
Restoran pertamanya, Tetsuya's, diambil dari namanya. Sedangkan restoran keduanya Waku Ghin memiliki arti sendiri. Waku berarti muncul dan juga berasal dari namanya), sedangkan Ghin berarti perak.
Restoran Tetsuya's di Sydney mendapatkan penghargaan sebagai Restaurant of the Year dari The Sydney Morning Herald Good Food Guide 2008. Tetsuya juga menempati daftar lima restoran terbaik World's 50 Best Restaurant di tahun 2005, 2006, dan 2007.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bukan cuma itu, Waku Ghin, restoran kedua milik Tetsuya Wakuda pun berulang kali masuk ke dalam daftar St. Pellegrino World's Best 50 Restaurants. Di tahun 2012, Waku Ghin berhasil masuk ke peringkat 39. Sejak itu, setiap tahunnya, Waku Ghin milik Tetsuya Wakuda masuk dalam daftar ini setiap tahunnya. Tahun 2013, Waku Ghin masuk dalam urutan 11, urutan tujuh di tahun 2013 dan nomor sembilan di tahun 2014. Di tahun 2015, Tetsuya Wakuda bahkan mendapat penghargaan The Diners Club Lifetime Achievement Award-Asia 2015.
"Hahahaha, itu sudah lama. Saya merasa sangat senang. Senangnya karena itu merupakan pilihan banyak orang. saya tidak tahu bagaimana orang memilihnya," kata Tetsuya Wakuda diiringi tawa saat diwawancara di Epicurean Market, Marina Bay Sands, Singapura, beberapa waktu lalu.
"Tapi sejujurnya, saya tidak terlalu peduli berapa banyak awards yang sudah didapat. Buat saya yang terpenting adalah dapur restoran selalu sibuk setiap harinya. Tapi ini adalah pengalaman yang menyenangkan dalam karier saya."
Prestasi Tetsuya Wakuda di dunia kuliner secara tak langsung membuatnya jadi koki selebriti. Kedua restoran miliknya ini pun menjadi favorit banyak orang. Untuk masuk ke restorannya, banyak orang harus mengantre dan melakukan pemesanan tempat terlebih dulu.
Tak pernah terlintas dalam benak chef Tetsuya Wakuda jika saat ini namanya akan bersinar di dunia kuliner.
"Saya tak punya ide kalau saya akan jadi seperti ini dulunya," ucap dia.
Sebelum sukses seperti ini, Tetsuya Wakuda muda yang berusia 22 tahun memutuskan untuk merantau. Tetsuya Wakuda yang lahir di Jepang, 18 Juni 1959 merantau ke Sydney, Australia.
Namun, kepergiannya ke Australia ini tak dibarengi dengan kemampuan yang memadai. Tetsuya muda merantau dengan modal nekat. "Saya tidak punya uang, tidak punya pekerjaan dan tidak bisa bahasa Inggris sama sekali," kata Tetsuya diiringi tawa.
"Tapi saya sangat bersemangat."
Mata Tetsuya yang sipit mulai melebar tatkala bercerita tentang pengalaman gilanya di masa lampau.
Berkata-kata dalam bahasa Inggris yang lancar dengan sedikit logat Jepang yang nyaris tak kentara, Tetsuya memulai kisahnya. Tetsuya muda pergi bukan untuk jalan-jalan, tapi untuk memulai hidup.
Perjalanannya ke Australia bukan disebabkan karena dia benci Jepang. Diakui Tetsuya, kala itu, dia merasa Jepang bukanlah base yang tepat untuknya.
"Sampai di Australia, saya bekerja di sebuah restoran Perancis milik Tony Bilson," katanya.
Di sana dia belajar banyak hal, termasuk bahasa. Hanya saja, kesibukannya di dapur restoran membuatnya tak punya banyak waktu. "
I've learn everything in the kitchen. Kalau dipikir-pikir sekarang ini, dulu saya seperti idiot (nekat). Tapi
I'm ok i think."
Diakui Tetsuya Wakuda, Tony Bilson dari restoran Kinselas adalah sosok yang sangat berpengaruh dalam kariernya. Lewat Tony Bilson, dia belajar banyak teknik dasar memasak makanan Perancis klasik. Namun, kepada CNN Indonesia, Tetsuya juga mengatakan bahwa chef Yoshifumi Mori dari restoran Kahala di Osaka juga menginspirasinya untuk menjadi koki.
Namun Tetsuya tak lama bersama dengan Bilson. Beberapa kali dia berpindah-pindah kerja di restoran. Di usia 27 tahun dia pun membuka restorannya sendiri.
Tetsuya Wakuda membuka restoran pertamanya Tetsuya's. Restoran yang berlokasi di Kent Street ini menempati sebuah lahan dengan bangunan yang bernuansa Jepang otentik. Menemukan lokasi restoran ini diungkapkannya sebagai sebuah pengalaman paling menarik dalam kehidupan kulinernya. Bagaimana tidak, tempat inilah yang menjadikannya koki selebriti seperti sekarang ini.
"Tahun 2000 saya menemukan lokasi restoran ini. Tidak menyangka saja kalau saya bisa bikin restoran sendiri. Padahal dulu saya pernah ditolak masuk restoran karena mereka takut saya tidak bisa bayar," katanya sambil mengenang.
Di restoran pertamanya ini, dia mencurahkan semua kemampuannya untuk menyajikan sensasi makanan yang bergaya Perancis-Jepang.
"Saya tidak berniat untuk jadi berbeda. Makanan Perancis-Jepang ini tercipta karena sejak awal memasak saya diajari tentang cara memasak Perancis. Sedangkan Jepang adalah hal alami yang sudah saya bawa sejak lahir," katanya.
Kolaborasi cita rasa Perancis-Jepang ini membuat banyak orang memberi cap makanannya sebagai makanan fusion.
Tetsuya sendiri mengaku kalau dirinya tak sepakat dengan kata fusion. "Karena terkadang makanan fusion itu bisa jadi confusion buat saya. Mungkin lebih tepatnya makanan yang ada di tengah-tengah, dan melewati batas dari makanan aslinya," ucapnya menerangkan.
"
Over the boundaries. Kalau dulu tidak ada yang boleh melewati batasan, tapi sekarang ini sudah banyak dilakukan. Semuanya dilakukan karena sudah banyak orang bepergian dan orang lokal pikirannya sudah maju dan palet (cita rasanya) sudah berkembang.
Lifestyle change jadi restoran dan chef harus tahu palet masyarakat masa kini."
Tetsuya mengklaim kalau setiap kali menciptakan menu, dia selalu menggunakan apa yang sedang tren saat ini.
Meski demikian, ini tak berarti kalau dia selalu ikut dengan tren yang ada. Saat memasak, dia selalu memegang teguh prinsipnya. Makanan bukanlah sains atau ilmu pengetahuan yang berbau ilmiah.
"Tidak ada yang salah dengan sains. Ide makanan bisa datang dari sains, tapi palet cita rasa bukanlah sains. Buat saya, makanan itu adalah hal yang nyata, sebuah perasaan dan hati. Mendekati (sains) boleh, tapi lebih dari itu tidak.'
Tak punya signature dishSetiap restoran biasanya memiliki satu menu yang jadi ciri khasnya. Ciri khas ini biasanya digunakan untuk membedakan restoran satu dengan restoran lainnya.
 Tetsuya Wakuda |
Hanya saja, Tetsuya tak punya
signature dish. Baginya,
signature dish itu bukan ditentukan oleh dirinya.
Signature dish itu ditentukan oleh pengunjung restorannya.
"Apa yang selalu dipesan pengunjung berulang-ulang, itulah yang jadi
signature dish."
Kala merangkai aneka bahan makanan menjadi santapan nikmat, Tetsuya tak punya tekanan untuk selalu menciptakan
signature dish. saat memasak, hanya ada satu yang selalu ada di pikirannya. Tetsuya yang kini sudah berusia 56 tahun selalu berusaha menciptakan makanan yang membuat orang yang menyantapnya jadi tersenyum.
"Bagi orang-orang sekarang ini, makan lebih seperti sebuah perayaan."
Oleh karenanya, Tetsuya yang asli Jepang ini selalu memberikan sentuhan personal dalam setiap makanan yang diciptakannya. Namun ini tak berarti kalau dia akan menuliskan nama dirinya di atas piring.
Dalam setiap piring makanan di restorannya, Tetsuya menuangkan semua pemikirannya. Di dalam piring makanan yang disajikan Tetsuya, ada berbagai pemikiran dan harapan yang dituangkannya. Tujuannya hanya satu, sekadar untuk bisa melihat senyum orang yang menyantap hidangannya.
Tantangan dua negaraKini Tetsuya Wakuda bukan hanya sekadar menjalankan dua restoran. Namun dia harus menjalankan dua restoran yang ada di dua negara, Australia dan Singapura.
Sebagai chef, dia harus melakukan banyak hal. Mulai mengembangkan menu sampai mengontrol jalannya dua restoran.
"Industri sekarang ini, Anda harus memasak ribuan porsi makanan. Sisanya Anda hanya ingin pulang, mandi dan istirahat. Tetapi kenyataannya, tidak bisa selalu seperti itu. Ini mungkin terdengar kasar, namun beginilah kenyataannya."
Kesibukan Tetsuya pun makin menjadi. Dia harus menciptakan kreasi makanan yang berbeda. Dikatakannya dua negara ini punya palet yang berbeda.
Lidah masyarakat Australia dinilai lebih cocok dengan makanan Perancis, Eropa dan Mediterania. Sedangkan lidah masyarakat Singapura lebih cocok dengan cita rasa Asia atau Jepang.
Kemampuan untuk mengenali palet dan keinginan orang, menurut dirinya, adalah kemampuan yang harus dimiliki seorang koki.
Hanya saja, itu belum cukup untuk bisa jadi seorang koki yang hebat. Syarat paling utama untuk menjadi chef adalah untuk mencintai makanan.
"
Please love food, love cooking and love life. Sebelum punya
passion untuk memasak, Anda harus punya
passion to eat," ujar Tetsuya.
Please love food, love cooking and love life. Sebelum punya passion untuk memasak, Anda harus punya passion to eatTetsuya Wakuda |
"Setelah itu, Anda harus punya pondasi saat memasak. Memasak itu seperti membangun gedung. Harus punya pondasi yang kuat. Tidak semua orang bisa mengerti apa yang kami lakukan di Waku Ghin, tapi tidak masalah," ujar Tetsuya.
Buat Tetsuya, dua negara tampaknya belum cukup. Dia masih punya cita-cita untuk melebarkan sayap. Sedikit berita baik untuk penggemar kuliner di Jakarta, Tetsuya menyatakan keinginannya untuk membuka restoran di Jakarta. "Mungkin saya buka restoran di Jakarta," katanya menggoda.
Tetsuya, yang ternyata juga sering berkunjung ke Jakarta, mengatakan kalau saat ini dia melihat perkembangan kuliner di Jakarta sangatlah pesat. Ini pulalah yang mendasari dia untuk melirik Jakarta sebagai lokasi restoran barunya.
Chef yang 'gaptek'Sesekali Tetsuya membetulkan posisi duduknya agar lebih santai di sebuah sofa oranye empuk di hotel mewah di Singapura itu. Wajahnya terlihat agak lelah karena seharian 'bekerja' dan menjamu tamu di festival kuliner Epicurean market. Namun, semangat bercerita dan antusiasnya bicara makanan seolah tak surut. Sesekali dia duduk bersandar, namun duduknya kembali tegak dan menatap lurus mata lawan bicaranya.
Tak bicara serius, hanya sesekali dia melontarkan ucapan yang mengundang tawa. Termasuk saat dia mengaku kalau dirinya adalah orang yang gaptek alias gagap teknologi.
Tanpa malu, dia mengatakan kalau dia tak bisa menggunakan laptop dan komputer. "Yang saya bisa cuma pegang iPhone dan iPad. Soalnya ponsel pintar ini sudah seperti jadi life line semua orang," katanya bercanda, seolah mengungkit banyaknya orang yang jadi generasi menunduk dan tak bisa lepas sedetik pun dari ponsel mereka.
Mungkin saja baginya, tak terlalu penting untuk bisa menggunakan komputer dan laptop, asalkan dia bisa menggunakan garam dan olive oil dengan takaran yang tepat dalam masakannya. Bagi Tetsuya Wakuda, dua bumbu masakan dikatakan sebagai kunci kesuksesannya.
"Bagaimanapun dan apapun masakannya, tidak akan enak kalau tidak ada garam. Garam adalah bumbu yang paling krusial. Sedangkan olive oil, Anda bisa menggunakannya untuk semua makanan."
Di akhir perbincangan, Tetsuya Wakuda memberikan sebuah tips dasar agar makanan yang disantap jadi lebih nikmat. Baginya tips dasar ini bukanlah soal kemampuan teknik memasak yang mumpuni, namun ini semua kembali ke soal rasa.
"Pastikan Anda makan makanan Anda dengan orang yang dicintai dan mencintai Anda. Terkadang walau hanya air putih saja, kalau dinikmati bersama orang tercinta akan terasa enak," ucapnya berkelakar.
Tak ada yang menyangka, seorang Tetsuya Wakuda yang menghabiskan separuh hidupnya di dapur yang panas dan keras ternyata menyimpan sisi lain dirinya yang romantis.
"Memangnya saya tak terlihat seperti orang yang romantis ya?"
(chs/mer)