Jakarta, CNN Indonesia -- "Kalau ingin ke surga, Anda harus melewati Alor," ujar Bupati Alor, Amon Djobo, dalam jumpa pers di Kementerian Pariwisata, Jakarta, Kamis (20/8).
Kearifan lokal dan keindahan alam di Desa Alor, Nusa Tenggara Timur, menurut Amon memang sudah diakui banyak pihak, sampai-sampai diberi julukan ‘Surga di Timur Matahari’.
"Banyak potensi keanekaragaman dan keindahan yang belum terjamah tangan manusia sebelumnya," katanya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Amon pun menawarkan kesempatan bagi publik yang ingin menjamah secuplik surga di timur matahari tersebut dengan menghadiri Festival Adventure Indonesia pada 15-20 September mendatang.
Tak sekadar bertandang, peserta dapat benar-benar menyelami kehidupan warga lokal melalui lima pilihan kegiatan, yaitu menyelam, pendakian, bersepeda, berburu foto, dan tur kebudayaan di 14 lokasi pilihan.
Di awal perjalanan, para peserta akan menginap di Pulau Siki. Sambil menikmati keindahan alam, turis mulai bersiap menikmati secuplik surga di Alor dengan pilihan kegiatan mereka.
Keindahan alam bawah laut di Alor sudah tak perlu dipertanyakan lagi. Bahkan, menurut Menteri Pariwisata Republik Indonesia, Arief Yahya, tempat penyelaman di Alor menempati posisi ketiga terindah setelah Labuan Bajo dan Raja Ampat.
Dalam festival ini, peserta akan bertualang ke beberapa tempat selam yang dianggap paling indah, seperti Kefa, Ternate, dan Pantar. "Terumbu karang dan bawah lautnya itu bagus sekali. Saya sudah ke sana," kata Arief.
Terletak di lokasi strategis, peserta juga akan merasakan sensasi perpaduan air laut dingin dari Australia dan laut hangat Indonesia.
Bagi para petualang, Festival Adventure Indonesia ini tak hanya menawarkan tantangan jelajah alam, tapi juga pemandangan indah. Memulai perjalanan sesuai dengan rute penyelenggara, peserta akan menyusuri jalan setapak berbatu dengan pagar ilalang menuju Pantai Berang.
"Pantai Berang ini unik karena pasirnya hitam dan hangat karena terletak di bawah kaki gunung api," tutur Adi.
Setelah itu, peserta akan berkelana dengan mobil menuju Desa Monbang. "Ini adalah desa adat, peserta tentu akan disambut secara adat," kata Adi.
Melanjutkan perjalanan, turis akan dibawa ke puncak Gunung Sirung kemudian turun ke Kampung Buntaro. Di sana, mata pengunjung akan kembali merekam fenomena unik.
"Di kampung itu ada pantai dengan pasir tiga warna. Jadi selama tracking, tidak hanya dapat fenomena sunset dan sunrise, tapi juga pasir panas dan pasir tiga warna," kata Adi.
Mengayuh sepeda sejauh 100 kilometer mungkin saja terdengar membosankan. Namun, Adi memastikan bahwa peserta tak akan sempat merasa bosan. Pasalnya, mata akan terus dibuat terbelalak melihat pemandangan indah.
Memulai perjalanan dari Taranana, peserta akan melewati jalan berkelok dengan pemandangan bukit serta pantai indah. Di tengah perjalanan, peserta akan berkunjung ke beberapa kampung adat.
Setelah disambut secara tradisional, peserta pun akan menghabiskan malam dengan membangun tenda di pinggir pantai.
"Selama di pantai tentu peserta akan merasakan hidup bersama warga lokal dengan kebudayaan yang sangat kaya," ucap Adi.
Keesokan harinya, peserta pun siap mengayuh kembali sepedanya mengarungi medan indah melalui Kokar, Alor Besar, Kalabahi, hingga Takpala.
"Bagi para pencinta fotografi, harus lengkapi koleksinya dengan pemandangan di Alor. Bisa lihat seluruh pulau dari atas gunung" kata Adi.
Tak hanya pemandangan, para peserta festival juga dapat mengabadikan momen kegiatan tradisional sehari-hari dari warga lokal. "Di Takpala dan Monbang itu akan ada warga yang masih memakai pakaian kulit kayu," tutur Adi.
Peserta juga akan disuguhkan beberapa penampilan seni kebudayaan dari masyarakat. "Pastinya semuanya lengkap. Fotografer bisa dapat momen human interest dan lanskap yang indah," kata Adi.
Salah satu cara paling baik untuk mengenal kebudayaan masyarakat Alor adalah dengan hidup bersama mereka. Dalam festival ini, peserta dapat menyelami lebih dalam kehidupan masyarakat di Takpala, Monbang, dan Bampalola.
"Mereka akan menginap di kampung adat. Belajar jadi orang lokal. Menenun, memasak, pokoknya mereka akan menjadi orang lokal dalam beberapa hari," kata Adi.
Setelah berpetualang di berbagai pelosok Alor, semua peserta akan diantar ke Pantai Sebanjar untuk menikmati hari terakhir Festival Bahari Alor pada 18 September.
Peserta akan disambut dengan suguhan satu upacara adat yang sarat makna perjuangan dalam sejarah, gala soro. Menurut Adi, gala soro sudah dimulai sejak zaman perang dahulu untuk menyambut para ksatria yang berhasil memenangkan pertarungan.
"Setelah perang adat, panglima yang menang datang pakai baju adat lengkap dan alat perang dikawal sembilan kapal lain, kemudian disambut oleh rakyat di tepi pantai dengan pesta pora," tutur Adi.
Sambil menuruni kapal, para kesatria mengiringi langkah panglima dengan tarian cakalele. Para rakyat menyambut dengan berbalas pantun sambil bernyanyi dan menari, mengantar sang panglima ke atas podium.
"Panglima mengumumkan kemenangan perang, dan kepala pihak yang kalah digantung di sekitar desa sebagai tanda kemenangan," ucap Adi.
Rakyat dan pasukan perang pun berbaur bersama, menari lego-lego untuk merayakan kemenangan.
Dalam Festival Bahari Alor, Way 2 East berusaha menghidupkan kembali adat yang telah lama mati tersebut.
"Akan ada seratus kapal muncul dari masing-masing pulau di sekitar Pantai Sebanjo. Di setiap kapal, ada 10 pria berpakian adat, bawa tombak, kelewang, dan busur panah," kata Adi.
Layaknya zaman perang, penumpang kapal akan disambut dengan berbagai tarian rakyat. "Bedanya, tidak ada kepala yang digantung lagi," ucap Adi sambil tergelak.