Jakarta, CNN Indonesia -- Tahun ini, Jember Fashion Carnaval (JFC) memasuki tahun pagelaran ke-14. Selama 14 tahun sang penggawa JFC, Dynand Fariz berhasil mewujudkan mimpinya dan berhasil mempertahankan mimpi besarnya menyelenggarakan fesyen karnaval terbesar di Indonesia.
Namun, siapa sangka di balik rancangan kostum karnaval yang megah dari tim JFC yang ditampilkan setiap tahunnya, ada sebuah cerita manis yang mengiringi event tersebut.
Ketika ditemui CNN Indonesia beberapa waktu lalu, Dynand Fariz membeberkan kisah manis itu. Sambil mengingat masa lalunya, wajahnya terlihat menerawang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Awalnya JFC merupakan komunitas keluarga, satu saudara. Keluargaku ada 11 orang, banyak yang tinggal di luar Jember, jadi setiap tahun, pas lebaran, ketemuan setahun sekali," kata Dynand Fariz memulai ceritanya.
Semula pertemuan keluarga Dynand tidak ada bedanya dengan pertemuan keluarga lainnya saat lebaran. Namun, semakin lama, ia menemukan kejenuhan dalam diri saudara-saudaranya, sebab aktivitas yang mereka lakukan setiap tahunnya selalu sama.
Dynand pun mulai berpikir. Biar bagaimanapun ia harus bisa membuat pertemuan keluarganya yang dilakukan satu tahun sekali itu tetap terjaga. Ia merasa harus melakukan inovasi jika tidak ingin kehilangan tradisi.
Lulusan jurusan seni rupa dari IKIP Surabaya itu pun memutuskan untuk mengajak keluarganya berdialog. Mereka mendiskusikan untuk membuat sebuah ajang ketika waktu kumpul keluarga itu datang.
"Akhirnya diputuskan pertemuan keluarga bikin acara keluarga outdoor sama indoor. Outdoornya kita bikin pawai, bikin parade, indoornya kita bikin ceremony," kata dia.
Setelah menemukan konsep acara, diskusi mereka pun berlanjut. Perbincangan mengarah pada pemilihan tema. Jadi, di pertemuan keluarga selanjutnya, saat lebaran, selalu ada sesuatu yang baru dari keluarga Dynand.
"Yang tadinya kita jenuh untuk datang lebaran, jadi mulai tertantang untuk datang karena ada project," kata jebolan ESMOD itu.
Pawai Keluarga Saat LebaranDynand tidak ingat betul kapan keluarganya memulai tradisi unik itu. Yang ia ingat, inovasi itu dimulai sekitar tahun 1990-an. Pawai yang dilakukan benar-benar berbentuk pawai seperti 17 Agustusan atau pawai Hari Kartini.
"Awalnya keliling gang saja di sekitar depan rumah. Waktu itu awal masih tidak pakai kostum, belum kepikir pakai macam-macam, asal warnanya sama dan ada tema. Misalnya kita bikin tema koboy, pakai topi, rompi, jins, kemeja kotak-kotak, begitu-begitu saja," ujar Dynand.
Sejak saat itulah kebiasaan keluarga Dynand menjadi besar. Tidak hanya melibatkan keluarga, masyarakat sekitarnya pun mulai tertarik dengan tradisi tersebut. Lama-lama, Dynand pun membentuk komunitas karena jumlah orang yang bergabung semakin banyak.
"Yang tadinya mungkin tidak sampai 50 orang, bisa sampai 400 orang dan akhirnya jadi keluarga besar. Dan pada saat ini menjadi besar mulailah aku rintis, melibatkan masyarakat yang akhirnya namanya Jember Fashion Carnaval (JFC)," kata dia.
Komunitas JFC berdiri pada tahun 2000. Sejak saat itu, Dynand merasa impiannya untuk membuat sebuah fesyen karnaval yang besar semakin di depan mata. Bermodalkan pengalaman dan dorongan dari komunitasnya, ia pun memulai membesarkan JFC.
 CNN Indonesia/Tri Wahyuni |
Awal Mula Karnaval Terbesar di JemberTahun 2001, di saat Komunitas JFC mulai besar, Dynand memberanikan diri berhadapan dengan pemerintah untuk memperjuangkan mimpinya. Bersama dengan komunitasnya, ia mempresentasikan konsel karnaval yang ia inginkan.
“Minta izin untuk mengadakan parade itupun alot sekali awalnya. Karena aku punya keinginan karnaval itu tidak harus keliling kota, aku maunya dari alun-alun lurusa saja seperti runway, tapi pemerintah maunya dari alun-alun putar kembali sampai alun-alun. Aku tidak mau," ujarnya.
Sempat tidak menemui kata sepakat dalam menentukan konsep Dynand memutuskan untuk menemui Bupati Jember. Hal yang berbeda ia dapatkan ketika menemui sang bupati. Ia justru mendapat dukungan untuk konsepnya itu.
"Oke, tidak apa-apa kalau kamu punya ide seperti ini, bagus. Akan kami support’,” kata Dynand menirukan perkataan bupati yang mendukungnya itu.
Ketika itu Dynand hanya meminta izin saja, benar-benar murni meminta izin. Ia tidak meminta bantuan dana sepeser pun. Laki-laki berumur 52 tahun itu tidak ingin konsep acaranya diintervensi atau ditunggangi kepentingan tertentu. Ia ingin benar-benar independen dalam menyelenggarakan JFC.
Sejak persetujuan bupati itulah ia dan timnya menggodok matang konsep acara karnaval impian Dynand dan juga impian timnya. Akhirnya JFC yang pertama pun terselenggara di tahun 2001.
(utw/utw)