Jakarta, CNN Indonesia -- Kekerasan atau pelecehan oleh pasangan bisa terjadi dalam bentuk penggagalan kelahiran, tekanan atau paksaan kelahiran yang memiliki konsekuensi merugikan, termasuk kehamilan yang tidak diinginkan, aborsi, dan trauma psikologis.
Jenis kekerasan yang dilakukan oleh pasangan intim tersebut disebut juga sebagai 'pemaksaan reproduksi'. Para penyedia layanan kesehatan harus tahu bagaimana menyaring hal tersebut, dan melakukan campur tangan secara efektif, kata para peneliti dalam tinjauan terbaru yang dimuat dalam
American Journal of Obstetrics and Gynecology.“Pada akhirnya, (pemaksaan reproduksi) adalah tentang kekuasan dan kontrol, pelaku kejahatan merasa memiliki kekuasaan penuh atas pasangan mereka, bahkan sampai ke titik untuk mengendalikan fungsi tubuh perempuan secara eksklusif, (yakni) kehamilan,” kata Jeanna Park dari Universitas Illinois di Chicago.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Dan meskipun tampak tidak mengancam, memaksa atau menipu seorang perempuan ke dalam tindakan yang menyebabkan kehamilan, pelaku kemudian kerap memaksa pasangan untuk menggagalkan kehamilan, sehingga melanjutkan siklus kekerasannya terhadap pasangan,” kata Park seperti dilansir dari laman Reuters.
Seringkali perempuan menjadi korban pemaksaan reproduksi, tapi lelaki juga bisa menjadi korban, dan hal tersebut seringkali tidak diketahui oleh dokter atau para korban sendiri.
Penggagalan atas kontrol kelahiran dapat berupa memusnahkan pil kontrasepsi, melepas cincin vagina, memakai alat kontrasepsi dalam rahim (IUD) tanpa izin pasangan, atau melepas kondom.
Pemaksaan juga mencakup ancaman untuk meninggalkan atau menyakiti pasangan yang tidak setuju untuk hamil, atau tidak setuju untuk mengakhiri kehamilan, tergantung pada keinginan pelaku.
Berdasarkan penelitian yang lain, antara 15 sampai 25 persen perempuan mungkin mengalami pemaksaan reproduksi di beberapa titik dalam hidup mereka.
(win/mer)