Hasil Menggembirakan dari Pil Pencegah HIV

Windratie | CNN Indonesia
Kamis, 17 Sep 2015 08:20 WIB
Tidak ada infeksi HIV baru di antara 657 orang yang mengonsumsi pil harian Truvada.
Ilustrasi HIV positif. (Getty images/ Thinkstock/jarun011)
Jakarta, CNN Indonesia -- Sebuah pil untuk mencegah infeksi HIV pada orang-orang berisiko tinggi dilaporkan bekerja, berdasarkan dua studi baru.

Dalam sebuah penelitian yang dilakukan di wilayah San Francisco, tidak ada infeksi HIV baru di antara 657 orang yang mengonsumsi pil harian Truvada. Dalam studi kedua, orang-orang di Inggris yang mengonsumsi Truvada berisiko terdiagnosis HIV lebih rendah.

Dikutip dari laman Reuters, Truvada yang diproduksi oleh perusahaan bioteknologi Gilead disetujui di Amerika Serikat untuk 'profilaksis prapajanan' (PrEP) pada HIV, virus yang menyebabkan AIDS.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS, Truvada dapat mengurangi risiko infeksi HIV sebanyak 92 persen. Kendati begitu, pil tersebut tidak melindungi dari infeksi menular seksual (IMS) lainnya.

Ketika Truvada telah bekerja dengan baik pada uji klinis kontrol tinggi, jika dibandingkan dengan plasebo, beberapa orang khawatir tentang tentang bagaimana pil tersebut diterapkan di dunia nyata.

Penelitian di San Francisco melibatkan 657 anggota perusahaan asuransi kesehatan Kaiser Permanente berusia 20 sampai 68 tahun antara tahun 2012 sampai 2015. Sebagian besar peserta adalah laki-laki homoseksual dan biseksual.

Selama studi berlangsung, para peserta tidak memiliki infeksi HIV baru. Meski demikian, setengah dari mereka memiliki infeksi menular seksual baru.

Studi ini tak bisa mengatakan, apakah tingkat IMS yang tinggi disebabkan oleh pemakaian PrEP. Tingkat diagnosis IMS yang tinggi mungkin disebabkan karena pasien untuk PrEP menjadi lebih sering memeriksakan diri ke dokter, sehingga memungkinkan kesempatan ditemukannya infeksi lebih banyak.

Sebanyak 41 persen dari 143 peserta penelitian melaporkan penurunan penggunaan kondom. Namun, Jonathan Volk, dokter penyakit menular di Kaiser Permanente di San Francisco Medical Center, yang juga penulis utama penelitian ini, mengatakan, mungkin ada penjelasan masuk akal untuk temuan tersebut, misalnya karena orang-orang yang memasuki hubungan monogami.


(win/mer)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER