Jakarta, CNN Indonesia -- Sepatu dengan hak tujuh sentimeter memang terlihat sempurna untuk penampilan seorang perempuan. Namun, banyak penderitaan mengancam di belakangnya. Kendati sepatu bertumit tinggi sudah banyak mendapat stigma buruk kesehatan maupun kenyamanan, tapi kaum Hawa tak pernah mau berhenti memakainya. Malah kadang hampir setiap hari memakainya.
Perempuan memang banyak berkorban untuk fesyen. Namun, berapa harga yang harus dibayar atas nama fesyen? Kendati bukan di Indonesia, sebuah penelitian baru yang dilakukan di Birmingham, Amerika Serikat, mengungkap seberapa besar dampak negatif yang terjadi akibat
high heels.
Para ilmuwan dari departemen epidemiologi di Universitas Alabama, Birmingham, melaporkan, cedera akibat sepatu berhak tinggi menjadi dua kali lipat dalam periode 11 tahun. Dari estimasi 7.097 kecelakaan cedera kaki pada 2002 menjadi sekitar 14.140 cedera pada 2012. Proyeksi jumlah total cedera tersebut berdasarkan jumlah total yang dirawat di ruang gawat darurat setiap tahun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jika belum yakin juga dengan efek buruk memakai sepatu berhak tinggi, penjelasan ini mungkin bisa menyadarkan perempuan agar lebih berhati-hati memakai sepatu berhak tinggi.
Apa sebetulnya yang terjadi pada tulang ketika kaki memakai
high heels? Briliantono M. Soenarwo, dokter ahli ortopedi mengatakan, struktur tulang manusia diciptakan dalam posisi yang rata.
“Tulang kaki terdiri dari tulang calcaneus atau yang kita sebut tumit, di depannya ada tulang jari-jari, dan ada tulang metatarsal (frame tulang),” kata dokter yang akrab disapa Tony tersebut.
Dia mengatakan, semua tulang-tulang tersebut membentuk suatu struktur yang sedemikian rupa. “Sehingga berat tubuh manusia dari atas melalui tulang panggul, paha, tulang kering, sampai ke the hallux (jempol kaki) disampaikan kepada tulang-tulang kaki yang banyak tersebut, dibagi rata 50 persen di depan, 50 persen di belakang dari berat badan,” ucap Tony menerangkan.
Sementara, ketika seseorang memakai sepatu hak tinggi terjadi kemiringan. “Katakanlah kemiringannya 30 derajat, itu artinya beban tubuh sekian persen lebih banyak di jari-jari depan.”
Tony melanjutkan, ketika sepatu hak yang dipakai lebih tinggi lagi, maka beban tubuh akan lebih turun lagi ke depan. “Akhirnya, tulang-tulang jari depan tidak kuat lagi menopang, maka terjadi nyeri, perubahan struktur tulang, gangguan di otot-otot, dan sebagainya.”
Kondisi tersebut bisa merembet ke betis, lutut, panggul, dan pada akhirnya ke tulang belakang, kata Tony. Namun, jika gambaran kerja keras yang dilakukan tulang kaki tetap tidak membuat Anda mau melepas sepatu hak tinggi, yang terbaik untuk dilakukan adalah memakai
heels dengan tinggi yang aman.
“Antara tiga sentimeter sampai lima sentimeter itu aman. Kalau di atas lima sentimeter sudah lebih berat enggak bisa.” Jika kaki Anda terbilang rentan memakai hak tinggi, Tony menyarankan agar tidak memakai jenis sepatu hak tertentu. “Jangan pakai
high heels yang stiletto, jadi harus pakai yang
wedges,” ujarnya.
Yang harus dicermati berikutnya adalah lama waktu berdiri dengan sepatu hak tinggi. Tidak semua perempuan memiliki batas ketahanan yang sama ketika bertopang dengan
high heels. “Ini tergantung daripada orang masing-masing,” kata Tony.
Menurutnya, beberapa perempuan ada yang dapat berdiri dengan
high heels sampai dua jam, tapi banyak pula yang hanya mampu memakainya sampai batas setengah jam, lewat dari itu dia akan kesakitan dengan tulang kakinya. Tony bilang, itu semua tergantung pada bagaimana struktur tulangnya.
“Kalau pasien dengan riwayat sudah memiliki
flat foot, mungkin setengah jam saja pakai
high heels sudah kecapekan dia, sakit. Dia akan mudah sekali untuk capek.”
Salah satu hal yang sangat disayangkan oleh Tony adalah banyaknya remaja putri yang sudah memakai sepatu tumit tinggi. Tony mengaku dia banyak sekali menangani pasien remaja yang memiliki masalah dengan kaki di daerah tumit dan jari-jari kaki karena
high heels. Termasuk juga dengan perempuan-perempuan dengan profesi tertentu yang mengharuskannya memakai
high heels, seperti petugas
front office.
“Saya tanya kenapa kok
high heels sampai sekian belas sentimeter, tiga belas, kadang-kadang ada yang lima belas sentimeter. Jawaban dia seragam kantor Dok, ‘kalau enggak pakai
high heels di kantor saya enggak boleh kerja’,” ujar Tony bercerita tentang kasus yang pernah ditanganinya.
Tony akhirnya membuatkan surat khusus ke bagian HRD di kantor pasiennya itu, meminta supaya dia diizinkan tidak memakai
high heels, sebab pasiennya itu sendiri tidak berani berbicara karena takut dipecat.
“Karena dia bekerja di bagian
front office yang harus kelihatan cantik. Kalau pakai
high heels itu katanya kenes gitu jalannya, tapi dia sakit. Saya bilang kalau sakit siapa yang mau ganti? Apa asuransi mau ganti? Tidak mau. Asuransi tidak mau ganti karena penyakit yang dibikin oleh
high heels, itu penyakit yang dibikin sendiri,” ujarnya.
(win/mer)