Jakarta, CNN Indonesia -- Sosok Angelina Jolie menjadi inspirasi banyak perempuan, terutama para penderita kanker payudara. Selebriti dunia itu berhasil menyelamatkan dirinya dari ancaman kanker payudara yang juga bisa mematikan itu.
Bahkan, Jolie memberikan pengaruh baik pada perempuan di dunia melalui
Angelina Effect-nya. Kini, sudah lebih banyak perempuan yang peduli terhadap kesehatan payudaranya berkat Jolie.
Seperti diketahui, Jolie sudah menjalani operasi pengangkatan payudaranya sejak 2013 lalu. Ia memutuskan untuk mengangkat kedua payudaranya setelah dokter memberitahukan kalau Jolie berisiko 87 persen terkena kanker payudara dan 50 persen kanker ovarium.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Setelah menempuh operasi mastektomi itu, risiko Jolie terkena kanker payudara pun akhirnya berkurang sampai sekitar lima persen.
Bukan tiba-tiba Jolie mendapatkan risiko terkena kanker payudara. Kata istri Brad Pitt itu, ibunya pernah berjuang melawan kanker ganas itu selama 10 tahun sampai akhirnya meninggal di usia 56 tahun.
Setelah operasi mastektomi atau pengangkatan payudara, dua tahun berikutnya Jolie melakukan operasi pengangkatan tuba falopi dan ovarium atau indung telurnya.
Para ahli menyebutkan kanker payudara memang bisa membawa kanker lainnya yang menyerang ovarium. Sebab, pada kanker payudara dan ovarium, hormon estrogen dan progesteron sama-sama pengaruhnya.
Namun, pakar onkologi medis dari Singapura Dr. Khoo Kei Siong mengatakan pada beberapa kasus, pengangkatan ovarium tersebut hanya merupakan alternatif untuk mencegah kanker ovarium atau mengatasinya. Kalau penderita tidak mau pun tidak apa-apa.
Langkah yang Jolie lakukan semata-mata hanya untuk menghindari terkena kanker yang sering menghinggapi perempuan itu. Para penderita kanker payudara bisa tetap memiliki ovarium asalkan rutin memeriksakannya ke dokter.
"Pengangkatan indung telur adalah opsi berikutnya. Tapi risikonya itu menyebabkan osteoporosis," kata Dr. Khoo saat ditemui di kawasan Kuningan, Jakarta.
"Kalau tidak mau diangkat harus melakukan
regular check up. Diharapkan
check up setiap enam bulan pemeriksaan vagina, ovarium, dan USG," ujarnya.
Dokter spesialis ginekologi dan onkologi dari Rumah Sakit Mount Elizabeth Singapore Lisa Wong pun mengatakan saat ini sudah berkembang teknologi yang bisa digunakan untuk menghilangkan kanker, termasuk kanker ovarium.
Salah satunya adalah laparoskopi. Operasi laparoskopi hanya menimbulkan lubang yang kecil saat operasi, seperti lubang kunci. Operasi ini juga bisa melihat dengan jelas objek apa yang ingin diangkat dan dikeluarkan dari lubang-lubang kecil tadi.
"Luka, sakit, dan perdarahannya lebih sedikit. Penyembuhannya pun lebih cepat," kata Lisa.
Teknologi laparoskopi ini pun sudah ada di Indonesia. Namun, biayanya masih sedikit lebih mahal karena butuh teknologi baru serta dokter yang sudah terlatih dengan baik karena metode operasi ini tidak mudah, seperti melakukan pembedahan dengan sumpit.
(utw)