Jakarta, CNN Indonesia -- Kanker payudara masih menjadi jenis kanker yang paling sering menyerang perempuan di Indonesia, bahkan di dunia.
Data yang dihimpun oleh Rumah Sakit Kanker Dharmais mencatat setiap tahunnya kasus kanker payudara mengalami peningkatan. Begitu juga dengan angka kematiannya.
Data tahun 2010, ada sebanyak 711 kasus baru kanker payudara yang ada di rumah sakit kanker tersebut. Tahun 2011 dan 2012, jumlahnya naik menjadi 769 dan 809 kasus baru dengan angka kematian 120-130 penderita tiap tahunnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di tahun 2013, jumlahnya meningkat menjadi 819 kasus baru dengan 217 kematian. Akibatnya, kanker payudara selalu berada dalam urutan teratas dari 10 kanker yang ditangani di rumah sakit tersebut.
Yayasan Kanker Payudara Indonesia (YKPI) pernah mengungkapkan, jumlah penderita kanker payudara di negara berkembang saat ini mencapai hampir 700 ribu orang.
Angka kematiannya sebanyak 30 persen. Padahal, 98 persen penderita kanker payudara bisa selamat jika melakukan deteksi dini.
Tingginya angka kematian itu biasanya disebabkan para perempuan tidak menyadari dirinya mengidap kanker payudara. Mereka baru sadar ketika kondisinya sudah mencapai stadium lanjut. Oleh sebab itu, tingkat kesembuhan pun menjadi lebih kecil.
Sebenarnya, ada beberapa cara yang memang bisa dilakukan untuk mendeteksi dini kanker payudara. Selain dengan SADARI, atau memeriksa payudara sendiri, kanker payudara bisa dideteksi dengan mamografi.
Pakar Onkologi Medis dari Singapura Dr Khoo Kei Siong mengatakan, mamografi sangat berguna digunakan mendeteksi kanker payudara sejak dini. Dibandingkan dengan SADARI, mamografi bisa lebih presisi.
"Sulitnya periksa sendiri itu harus rutin dan tidak semua benjolan yang ditemukan merupakan kanker," kata Siong saat ditemui di kawasan Kuningan, Jakarta. Sedangkan, mamografi bisa mendeteksi kanker payudara dengan ketepatan sampai 85 persen.
Khoo juga menampik mitos mamografi yang katanya malah bisa memicu kanker payudara. Radiasi yang ditimbulkan ketika pemeriksaan mamografi yang ditakutkan memicu kanker, kata Khoo, tidak separah itu.
"Banyak orang khawatir paparan radiasi. Tapi paparannya justru lebih kecil dari x-ray dada atau punggung. Bisa empat kali lebih kecil," ujar dia.
Ia juga mengungkapkan kalau radiasi yang ditimbulkan mamografi, jumlahnya sama dengan radiasi selama tujuh minggu walaupun tidak melakukan apapun. Artinya, radiasinya memang tidak terlalu besar.
Mitos bahwa mamografi bisa memicu kanker karena memberikan tekanan pada payudara saat melakukan pemeriksaan juga ditepis oleh Khoo. Proses itu tidak akan memicu kanker.
Pemeriksaan mamografi bisa dilakukan secara rutin, selama satu tahun sekali sementara untuk perempuan di atas 50 tahun dianjurkan melakukan pemeriksaan mamografi dua tahun sekali.
(utw)