Sindrom Cotard, Ketika Seseorang Merasa Dirinya Telah Mati

Windratie | CNN Indonesia
Jumat, 06 Nov 2015 09:46 WIB
Sindrom ini disebut juga sebagai 'sindrom mayat berjalan'. Penderitanya percaya mereka telah mati, bagian tubuh mereka mati, bahkan mereka seutuhnya tidak ada.
Ilustrasi depresi. (Getty images/ hikrcn)
Jakarta, CNN Indonesia -- Sebuah penyakit mental langka membuat penderitanya percaya jika mereka telah mati, setengah mati, atau bahkan tidak ada di dunia. Inilah yang disebut sebagai sindrom cotard.

Dijuluki juga sebagai 'sindrom mayat berjalan', ini adalah kondisi ketika pasien percaya bahwa mereka telah mati, bagian tubuh mereka mati, bahkan mereka seutuhnya tidak ada.

Meskipun tidak diklasifikasikan di bawah Diagnostik dan Statistik Manual Gangguan Mental (DSM-V), tapi dalam Klasifikasi Internasional Penyakit, kondisi ini diakui sebagai 'penyakit kesehatan manusia'.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Yayasan penyakit mental Mind menjelaskan, kondisi ini berhubungan dengan psikosis, depresi klinis, dan skizofrenia.

Dilaporkan oleh Independent, juru bicara Mind mengatakan bahwa sindrom ini langka. “Sindrom cotard adalah khayalan yang biasanya dikaitkan dengan penolakan eksistensi diri,” katanya.

Seseorang yang mengalami delusi percaya mereka mati, sekarat, bagian tubuh mereka tidak ada, mereka tak perlu melakukan kegiatan yang menjaga diri mereka hidup, misalnya minum, makan, kebersihan dasar, dan lain sebagainya.

Ahli saraf Perancis, Jules Cotard, mengindentifikasi kasus pertama sindrom ini pada tahun 1800-an. Dia menggambarkan seorang perempuan menderita kondisi di mana dia merasa 'tidak punya otak, tidak punya saraf, tidak punya dada, tidak punya perut, tidak punya usus. Hanya kulit dan tulang di tubuh yang membusuk.”

Esme Weijun Wang adalah orang yang pernah mengalami sindrom cotard. Dia menceritakan pengalamannya mengalami kondisi tersebut selama dua bulan.

Menurut Wang, setelah berminggu-minggu kehilangan 'rasa terhadap realitas', dia akhirnya terbangun. Dia mengatakan kepada sang suami, dirinya telah meninggal dunia satu bulan lalu ketika pingsan di pesawat.

“Saya yakin telah meninggal pada penerbangan itu, dan saya berada di akhirat, dan tidak menyadarinya sampai saat itu datang.” Wang, yang sebelumnya didiagnosis dengan gangguan bipolar skizoafektif, akhirnya pulih. Dia sudah tidak melihat dirinya sebagai mayat membusuk lagi.

Publikasi yang diterbitkan di Washington Post itu mengatakan, penyebab sindrom cotard dan delusi lain masih menjadi perdebatan, banyak spekulasi kemungkinan menyertai, termasuk kerusakan otak.

Pada 2013, seorang laki-laki Inggris bernama Graham diwawancarai oleh New Scientist. Dia didagnosis menderita sindrom cotard setelah meyakini bahwa otaknya mati. Dia percaya jika dia sudah membunuh otaknya setelah percobaan bunuh diri karena depresi berat.

Graham menjelaskan kenapa selama ini kerap datang ke kuburan. “Tempat itu adalah yang terdekat di mana saya bisa mati.” Dia berkata, “Saya tidak perlu makan, atau bicara, atau melakukan apapun.”

Graham mengatakan ia mengunjungi kuburan selama ini sebagai "itu yang paling dekat aku bisa mati". Dengan psikoterapi dan terapi obat, kondisi Graham berangsur membaik.

(win/utw)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER