Tak Semua Orang Menikmati Hangatnya Hawaii

Endro Priherdityo | CNN Indonesia
Rabu, 18 Nov 2015 19:22 WIB
Setelah bertahun-tahun dikenal sebagai pusat wisata pantai, Hawaii kini mengalami masa gelapnya. Ratusan tunawisma membanjiri kota itu akibat masa krisis.
Pulau Kauai, Hawaii. (Thinkstock/SergiyN)
Jakarta, CNN Indonesia -- Pulau dengan iklim yang hangat bergaris pantai panjang dan bertabur ombak di laut biru ternyata tak selamanya indah. Hawaii, salah satu destinasi idaman romantis di dunia menghadapi permasalahan yang dapat membuat keindahannya terganggu, penumpukan tunawisma.

Hawaii yang selama ini terkenal dengan deburan ombak, iklim hangat, dan tarian 'aloha' yang khas tengah menghadapi masalah tunawisma yang cukup serius selama beberapa tahun terakhir.

Seperti yang dilansir the Huffington Post, terdapat 487 tunawisma di Hawaii per 100 ribu orang, yang merupakan indeks tertinggi di Amerika Serikat mengalahkan New York dan Nevada.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Jumlah tersebut telah meningkat sejak 2010 semasa perbaikan ekonomi dari krisis yang sempat menggempur Negara Paman Sam pada 2008. Kenaikan tersebut diduga disebabkan karena upah yang rendah serta keterbatasan lahan sehingga masyarakat sulit membayar uang sewa tempat tinggal dan memilih tidur di tepi pantai.

Kondisi yang semakin parah menjadikan Pemerintah Negara Bagian Hawaii menjadikan tuna wisma sebagai Darurat Negara Bagian pada Oktober lalu dan telah melakukan berbagai cara untuk menanggulanginya.

Beberapa yang dilakukan gubernur David Ige adalah menawarkan pelayanan bagi tuna wisma, pelarangan tinggal di tepi pantai, serta penyewaan kontainer sebagai rumah sementara.

Namun usaha pemerintah Hawaii masih jauh dari cukup. Di Oahu saja, sebanyak 550 orang tuna wiswa tercatat tidur setiap malamnya di jalanan, yang mana diprediksi 4900 hingga 7620 tuna wisma hidup di gelapnya malam Hawaii.

Pemerintah Hawaii membutuhkan 27 ribu unit hunian hingga 2020 nanti, dengan 800 hunian telah disiapkan pada tahun ini. Dengan jumlah hunian yang besar, setidaknya pemerintah Hawaii harus menganggarkan $800 juta atau sekitar Rp 11 miliar selama satu dasawarsa berikutnya untuk membangun hunian.

Bila dirasa antri haji sudah cukup lama, di Hawaii, 10 ribu penduduknya harus menunggu hingga lima tahun untuk hanya mendapatkan unit hunian yang dimiliki oleh negara.

Pertambahan populasi juga ikut memperparah kondisi. Jumlah penduduk Hawaii melambung 46 persen hanya dalam waktu satu tahun, 2014 ke 2015. Scott Morishige, pejabat pemerintah setempat untuk masalah tuna wisma mengatakan kebijakan hunian dari negara dan pelayanan kesehatan menjadi faktor melambungnya angka populasi.

Tawaran tersebut membuat imigran dari berbagai belahan dunia datang ke kepulauan di tengah Samudera Pasifik itu. Hingga tercatat dalam survey penduduk pada Agustus lalu, 42 persen dari 300 penghuni suatu kamp tuna wisma masih berada dalam satu kekerabatan keluarga.

Bila permasalahan tuna wisma dan membludaknya imigran sudah cukup merepotkan, masalah sosial seperti persaingan antara imigran dan penduduk asli pun ditemukan. Kebanyakan imigran yang berasal dari Mikronesia di selatan Pasifik merasa didiskriminasi serta terkendala masalah bahasa.

Namun bukan berarti penduduk lokal tak merasa selalu diuntungkan, faktanya adalah para tuna wisma yang ada di Hawaii 30 persen terdiri dari penduduk asli, 27 persen orang Mikronesia atau orang Pasifik lainnya, dan 26 persen orang kulit putih.

Bagi penduduk asli Hawaii, Pemerintah Amerika Serikat dianggap sebagai penjajah yang telah merebut tanah leluhur mereka. Dan masuknya imigran, semakin menambah sakit hati yang mereka alami.

Pemerintah Hawaii juga mengeluarkan larangan bagi para tuna wisma untuk tidak tidur di garasi hotel. Larangan tersebut didukung oleh resor-resor besar seperti Hyatt dan Hilton yang mengeruk keuntungan sebesar $6,8 milyar per tahunnya. Angka tersebut hampir setengah dari uang yang dihabiskan para pelancong di Hawaii.

Para resor dan hotel elit selalu mengusir tuna wisma yang kemudian pindah ke pemukiman penduduk. Tapi pengusiran bukan hanya dari pihak hotel, pemerintah Honolulu sendiri menghabiskan $15 ribu setiap pekannya untuk menggusur para tuna wisma. Selayaknya penggusuran, para tuna wisma pun akhirnya kehilangan berbagai bahan tempat tinggal mereka seperti kayu dan pakaian.

Meski tuna wisma, bukan berarti tak memiliki pekerjaan. Seorang tunawisma, Kionina Kaneso bekerja di McDonald's dan dibayar $8,75 per jamnya. Jumlah tersebut tak cukup untuk menyewa unit apartemen seharga $1800 per bulan. Kaneso telah menunggu sejak 2006 untuk mendapatkan unit rumah dari pemerintah. Semula ia tinggal bersama saudarinya, namun ia memilih pergi lataran tak ingin menjadi beban.

Kaneso pun telah berulang kali pindah tempat hanya untuk tidur. Kamp tuna wisma yang pernah ia tinggali kena gusur oleh pemerintah karena ada insiden kekerasan di dalamnya. Kaneso pun harus rutin pindah dari satu kawasan tuna wisma satu ke kawasan lainnya, hanya untuk tidur. (end/utw)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER