Gagal Diet Karena Melupakan Psikologi Makanan

utw | CNN Indonesia
Jumat, 11 Des 2015 06:21 WIB
Perkara gagal diet ternyata tak melulu soal kurang olahraga atau pengaturan pola makan. Tapi sering kali juga soal bagaimana orang memandang makanan.
Ilustrasi. (Thinkstock/stokkete)
Jakarta, CNN Indonesia -- Jika Anda berpikir sudah tahu segala hal tentang cara menurunkan berat badan cobalah berpikir ulang. Karena survei terbaru yang diprakarsai oleh perusahaan layanan kesehatan Orlando Health mengungkapkan sesuatu yang jarang disebutkan para pelaku diet. Yakni kesehatan mental.

Inilah yang ternyata menjadi sebab mengapa 95 persen cara diet menurunkan berat badan sering gagal.

Sebuah survei kepada lebih dari 1.000 orang Amerika menunjukkan, 31 persen responden menganggap mereka gagal diet karena kurang berolahraga.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Diikuti oleh 26 persen yang percaya bahwa makanan yang kita makan jadi penyebab gagal dien dan 17 persen menyalahkan mahalnya harga makanan sehat. Hanya satu dari tiap 10 responden yang menyebutkan masalah psikologis menjadi penghalang kesuksesan diet.

“Saat Anda bicara pada seseorang soal penurunan berat badan, mereka akan mengatakan mereka kurang olahraga dan pola makan yang salah,” kata Diane Robinson, ahli neuropsikologis dan direktur progtam dari Integrative Medicine at Orlando Health, kepada Huffington Post. “Namun kita juga perlu memahami mengapa kita makan.”

Bagi banyak orang, makan adalah juga soal pengalaman emosional. Kita sering mendapatkan comfort food atau makanan pemberi rasa nyaman saat menghadapi masa-masa sulit. Banyak dari kita mendapat iming-iming makanan yang manis jika berlaku baik saat masih kanak-kanak.

Di banyak negara sebagian besar saat liburan berarti juga fokus besar pada soal makanan. Tak jarang makanan juga jadi perkara nostalgia dan lambang hubungan personal yang muncul dalam bentuk sajian di meja makan.  

“Baik kita sadar atau tidak tentang hal ini, kita dikondisikan untuk menggunakan makanan bukan hanya sebagai sumber nutrisi, tapi juga sumber rasa nyaman,” kata Robinson. “Itu bukan hal buruk sebenarnya, tapi sejauh kita memahaminya dan menghadapinya dengan sewajarnya.”  

Setelah makan makanan yang nikmat, otak akan melepaskan dopamin, zat kimia yang berasosiasi dengan rasa senang. Tubuh Anda merasa terpuaskan dan Anda merasa senang. Namun ada efek lain, ada ketergantungan pada makanan jika orang akhirnya selalu melarikan masalah hidup yang dihadapi dengan mencari makanan untuk rasa nyaman.

Sebagaimana yang disebutkan oleh Mayo Clinic, “Kadang kala keinginan paling kuat untuk makan muncul saat Anda berada dalam kondisi emosional terendah.”

Memahami aspek emosional dari perilaku terhadap makanan adalah kunci untuk menjaga kesehatan secara menyeluruh. Studi sebelumnya, termasuk yang dipublikasikan di jurnal Frontiers in Psychology pada 2014,  menekankan rumitnya hubungan antara suasana hati, makanan dan kelebihan makan.

Rasa lapar dan asupan makanan lebih banyak diatur bukan oleh faktor biologis kita. Emosi ternyata memainkan peranan penting dalam menentukan akan seberapa banyak kita makan.

Survei ini menunjukkan fakta bahwa banyak yang harus kita lakukan terhadap bagian dalam tubuh kita dibanding di bagian luar. Dengan akan berakhirnya tahun ini, Robinson mengingatkan ada langkah kecil yang harus dilakukan untuk sukses dalam usaha menurunkan berat badan. “Jika Anda ingin resolusi penurunan berat badan, laksanakan resolusi untuk mengenali diri sendiri lebih baik.”  
Robinson mengatakan kita sering kali sulit mengenali emosi kita saat berhubungan dengan makanan, karena sebagai manusia kita sulit melihat diri sendiri lewat sudut pandang itu. “Sulit bagi kita untuk menyebutkan emosi kita dan menyadari bahwa emosi itulah yang mengendalikan pikiran dan perilaku kita. Kita tak ingin mengakuinya karena itu membuat kita tak nyaman,” kata Robinson.

Banyak hal harus jadi perhatian dalam hubungan kesehatan mental dan penurunan berat badan. Karena kini ketika kita memprioritaskan pada masalah fisik — layaknya saat kita patah tulang atau terinfeksi virus kita bisa langsung menemui dokter. Namun perkara emosi jauh lebih abstrak. Bagaimana kita tahu kita sedang “sangat sedih dan ini saatnya menemui terapis?”

Kepada mereka yang sedang berdiet Robinson menyarankan untuk menjadikan otak mereka sebagai tandem dalam upaya fisik untuk menurunkan berat badan. Misalnya dengan menggunakan jurnal makanan, Anda bisa sekaligus menuliskan perasaan dan suasana hati hari itu  untuk mengenali pola tak sehat yang Anda lakukan.

Lalu mulai mencoba berpikir, saat Anda mengambil segenggam cemilan Anda bisa bertanya pada diri sendiri. Anda mengambilnya karena lapar atau alasan lain?

Jika alasan Anda adalah yang terakhir Anda mungkin perlu menenangkan diri dan melihat lebih dalam akan motivasi Anda. Bagi sebagian orang, bekerja sama dengan terapis sering jadi pembuka kunci untuk mengenali tentang aspek emosional di balik perilaku akan makanan.

(utw)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER