Jakarta, CNN Indonesia -- Tidak adanya larangan penggunaan minyak jelantah atau limbah minyak goreng membuat masyarakat harus lebih waspada. Pasalnya, menurut kajian yang dilakukan oleh Institut Studi Transportasi (Instran) bersama dengan Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB), sebagian besar pedagang makanan menggunakan minyak jelantah untuk memproses makanannya yang akan dijual kepada konsumen.
Padahal, bahaya minyak jelantah bagi tubuh sudah diketahui sejak lama. Minyak jelantah bersifat karsinogenik dan bisa menyebabkan berbagai penyakit degeneratif.
Direktur Eksekutif KPBB Ahmad Safrudin mengatakan minyak jelantah mengandung radikal bebas yang sangat berbahaya bagi kesehatan. Tak hanya itu, ia juga menyebut minyak jelantah juga bisa menyebabkan gangguan fungsi ginjal, hipertensi, pengentalan darah, stroke, dan penyakit pembuluh darah lainnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Seharusnya kalau sudah ada dampak kesehatannya mutlak dilarang. Kalau minyak goreng biasa radikal bebasnya nyaris tidak ada. Kalau jelantah lemaknya sudah jenuh, radikal bebasnya lebih banyak, jadi lebih berbahaya," kata Ahmad saat ditemui usai jumpa pers tentang pengembangan biodiesel jelantah di kawasan Thamrin, Jakarta, Jum'at (11/3).
Tak perlu menunggu hitam untuk menggolongkan minyak goreng termasuk minyak jelantah. Ahmad menjelaskan, selagi minyak goreng itu sudah dipakai berulang kali, maksimal tiga kali, minyak goreng tersebut sudah berubah menjadi limbah yang disebut minyak jelantah.
Pada kondisi tersebut, minyak seharusnya sudah tidak boleh digunakan lagi untuk memproses makanan. Karena radikal bebas yang dihasilkannya akan masuk ke tubuh dan memicu timbulnya penyakit.
Sayangnya, masyarakat belum menyadari betul bahaya penggunaan minyak jelantah bagi kesehatan. Buktinya, kata Ahmad, banyak pihak yang sengaja berlaku curang karena mengolah kembali minyak jelantah tersebut menjadi minyak goreng curah dan dijual kembali di pasar.
"Minyak jelantah disaring kembali. Untuk melarutkan kotorannya pakai hidrogen peroksida. Dalam waktu 24 jam memang sudah jernih lagi, tapi tidak menghilangkan radikal bebasnya," kata Ahmad.
Minyak curah oplosan itu kemudian dibeli lagi oleh penjual makanan dengan harga yang lebih murah daripada minyak curah biasanya, agar keuntungannya lebih berlipat. Padahal beda harga itu sebenarnya tak jauh, hanya Rp1.000-2.000 saja dari minyak curah asli.
Membedakan Minyak Goreng Curah dan OplosanPenjualan kembali minyak jelantah daur ulang yang dikemas serupa dengan minyak curah, mau tak mau membuat rumah tangga menggunakan produk tersebut.
Tapi, sebenarnya, jika jeli, minyak curah hasil daur ulang dari minyak jelantah bisa dibedakan dengan minyak curah yang masih murni.
Ahmad mengatakan, salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan memperhatikan warnanya. Warna minyak curah asli cenderung kuning cerah. Sementara minyak curah hasil daur ulang minyak jelantah memiliki warna yang berbeda.
"Kalau bening agak kehitaman, bukan bening seperti yang baru, itu patut dicurigai. Atau kadang warnanya agak kehijauan. Padahal kalau minyak gorang, sekeruh-keruhnya tetap saja kuning dan cair," ujar Ahmad.
(les/les)