Membangun Gizi di Pelosok Negeri

Aghnia Adzkia | CNN Indonesia
Senin, 25 Apr 2016 06:32 WIB
Jemris Mikael mengisahkan perjuangannya mengentaskan gizi buruk di kawasan Belakang Padang, Batam. Di pernah diusir dan ditolak, namun tak patah arang.
Banyak anak di Indonesia yang masih menderita gizi buruk. (ANTARA FOTO/Lucky R)
Jakarta, CNN Indonesia -- Jemris Mikael Atadena (26) tertegun saat dirinya pertama kali menginjakkan kaki di wilayah Belakang Padang, Batam, Kepulauan Riau pada Desember 2015. Ahli gizi asal Alor, Nusa Tenggara Timur ini, tak menyangka puluhan bayi di bawah lima tahun (balita) di daerah tersebut terserang gizi kurang bahkan gizi buruk.

Belakang Padang merupakan wilayah yang terdiri dari sedikitnya empat pulau besar dan berpenghuni beserta pulau kecil lain. Pulau tersebut dihuni 22 ribu orang dengan jumlah balita 235 orang. Sebanyak lima anak terserang gizi buruk dan 20 anak lainnya kekurangan gizi.

Balita tersebut membutuhkan sentuhan tangan Jems, panggilan akrabnya. Pengalamannya sebagai ahli gizi di Puskesmas Alor selama dua tahun, menjadi guru yang berharga baginya untuk menangani bayi bergizi kurang dan buruk.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Satu per satu rumah yang dihuni balita ia datangi. Jems ingin mendata balita yang membutuhkan penanganan khusus. Jems pun mencoba berdialog dengan sang ibu. Namun, tak jarang ia diusir dari rumah.

Rupanya, stigma masyarakat setempat soal gizi buruk masih ada. Para ibu tak ingin dinilai salah mengasuh anak hingga menyebabkan gizi sang anak terabaikan. Alhasil, pria humoris ini pun memakai pendekatan yang berbeda ketika berkomunikasi dengan sang ibu.

"Mereka tidak mau kalau saya datang dan bilang anaknya terkena gizi kurang dan gizi buruk. Saya bilang berat badan anaknya kurang sehingga berpengaruh ke kecerdasannya kelak ketika besar," kata Jems ketika berbincang dengan CNNIndonesia.com di Kantor Kecamatan Belakang Padang, belum lama ini.

Jems memutar otakknya dengan beribu cara. Dari pintu ke pintu ia sambangi. Ia menemukan seorang bayi bernama Ayu Kartika yang menderita kekurangan gizi. Meski sudah berusia 1,5 tahun, Ayu belum juga bisa berjalan. Saban hari Ayu selalu menangis bahkan ketika disentuh oleh Jems.

Jems mencoba mendekati ibu Ayu. Mulanya Jems hanya menanyakan keadaan sang bayi. Ibunda Ayu pun bercerita sembari menangis.

"Kami umpan tanya gimana keadaan anaknya dan ibunya cerita anaknya rewel terus tidak mau makan nasi tiap hari. Sudah dibawa ke rumah sakit Batam dan berkelas tapi tetap saja tidak bisa," katanya.

Jems mencari tahu penyebab nafsu makan Ayu yang tak kunjung membaik. Semula ia mengira ada faktor keturunan yang menjadi penyebab. Tapi analisis itu terbantahkan lantaran kedua kakak Ayu sehat.

Setelah dicari tahu, rupanya sang ibu hanya memberikannya bubur atau nasi putih yang diselingi beberapa jenis sayuran. Minimnya pendapatan keluarga menjadi faktor penentu penganan yang diberikan. Ibu Ayu tak bekerja. Sang ayah pun mendapat uang seadanya dari pekerjaannya sebagai petugas keamanan.

Jems lalu memutar otak mencari cara agar Ayu mau makan. "Saya bilang coba masak bubur dan kalau sudah mau diangkat ke piring, kasih susu yang biasa dia minum itu. Diaduk dan dicampur," ucapnya.

Penganan itu, kata Jems, diberikan setelah sang anak terlebih dulu ‘dijemur’ di pagi hari. Saat terasa lapar, barulah diberi makan.

Berselang dua minggu, Jems mendapat kabar Ayu sudah bisa berjalan. Berat badannya pun bertambah dari 7,4 kilogram menjadi 11 kilogram. "Kami cek di Posyandu, status gizi baik. Kami senang sekali," katanya dengan sumringah.

Kisah serupa muncul dari seorang bayi yang terserang tuberkolusis bernama Aditya Pratama. Adit saat itu baru berusia 1 tahun dan 10 bulan dengan barat badan 9,7 kilogram. Paru-parunya terinfeksi bakteri. Kondisi badannya pun menurun lantaran tak doyan makan.

"Ternyata itu faktor risiko karena rumahnya jadi bengkel. Kamar anaknya dekat bengkel. Jadi kena asap dan kami suruh kamarnya dipindah ke belakang sehingga berlawanan dari arah angin," katanya.

Selain itu, Adit juga diberi obat. Makanan diberikan lebih bervariasi. Sang ibu diminta membuat puding dengan tambahan biskuit dan susu yang gemar diminum. Adit kembali bugar, berat badannya melonjak hingga 13,8 kilogram.

"Itu memang pekerjaan pokok kami. Dari gizi kurang jadi baik dan buruk jadi baik. Saya sudah terbiasa juga di Puskesmas NTT. Kalau di sana tantangan lebih berat," katanya.

Membangun Pelosok Lewat Gizi Baik

Jems adalah seorang tenaga ahli yang diperbantukan ke pelosok daerah di perbatasan Indonesia. Jems bagian dari Tim Nusantara Sehat, sebuah program yang digalakkan Kementerian Kesehatan.

Jems tinggal selama dua tahun hingga Desember 2017 mendatang bersama empat orang lainnya yang merupakan analis lingkungan, bidan, dan perawat. Mereka berkantor di Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) di Belakang Padang.

"15 persen Puskesmas di Indonesia belum bekerja optimal. Kami ingin melayani lewat Puskesmas tapi memang masih banyak tantangan," kata Staf Khusus Menteri Kesehatan Bidang Peningkatan Kemitraan dan SDGs Diah Saminarsih.

Tim Nusantara sehat yang terdiri dari pemuda di bawah 30 tahun ini bekerja dengan menggabungkan aspek kesehatan dan non kesehatan. Selain memeriksa dan memberikan pelayanan gizi, mereka juga memberikan penyuluhan kesehatan dan lingkungan.

"Ada satu hal yang tidak boleh dilupakan yakni kewajiban negara untuk hadir di perbatasan negeri seperti janji Nawa Cita Pak Jokowi. Tim Nusantara Sehat adalah representasi negara yang hadir untuk menjadikan lingkungan bersih, bebas narkoba, dan anak-anak jadi lebih sehat," katanya.

Pada 2015, Tim Nusantara Sehat telah menjangkau 120 Puskesmas di 13 provinsi di Indonesia dari Batam hingga Boven Digul, Papua. Pada 2016 mendatang jangkauan akan diperluas hingga 130 Puskesmas.

Untuk 2016 ini sebanyak 1.090 tenaga kesehatan akan dikirim. Angkatan pertama akan dikirim 225 tenaga kesehatan yang disebar ke 45 puskesmas di 15 provinsi.

Tim kesehatan terdiri dari dokter, perawat, bidan, tenaga kesehatan masyarakat, tenaga kesehatan lingkungan, ahli teknologi laboratorium medik, tenaga gizi dan tenaga kefarmasian.

Saban bulan mereka mengantongi remunerasu hingga Rp4,2 juta. Untuk dokter daerah terpencil, besaran insentif menjadi Rp 8,5 juta sementara dokter yang ditempatkan di daerah sangat terpencil mendapatkan insentif sebesar Rp 11,181 juta. (les)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER