Jakarta, CNN Indonesia -- Ketika pergi berlibur, hal pertama yang Anda lakukan setelah perjalanan jauh adalah tiba di hotel dan beristirahat. Tak sedikit yang beranggapan bahwa “liburan yang terbaik akan dimulai setelah tidur malam yang baik”. Jika tidak, keesokan harinya, Anda bangun dengan rasa lelah yang sama seperti saat baru tiba.
Ini dikenal sebagai fenomena 'first-night effect' oleh peneliti tidur. Sebuah studi baru akhirnya menjelaskan mengapa kualitas tidur cenderung buruk ketika di tempat baru. Alasannya, mereka percaya, tidur di tempat baru membuat otak terus terjaga karena merasa tak aman.
Para peneliti menggunakan kombinasi tiga pindai otak berbeda, termasuk MRI, untuk memantau orang saat tidur. Mereka menemukan bahwa pada malam pertama, orang cenderung memiliki banyak kesulitan untuk bisa tidur di tempat yang pertama kali mereka datangi. Bagian otak kiri pun mengalami berkurangnya kenyenyakan dalam tidur.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam jurnal 'Current Biology', para ilmuwan juga mencatat bahwa hal tersebut meningkatkan respon otak terhadap suara yang tidak biasa dan 'rangsangan eksternal yang menyimpang'.
Kemudian pada tulisan tersebut, para peneliti menyimpulkan 'first-night effect' adalah manifestasi dari setengah bagian dari kita menjadi lebih waspada daripada yang lain. Terjaga di malam hari ini untuk memantau lingkungan yang tidak dikenalnya saat tidur.
"Baris-baris bukti yang sesuai dengan hipotesis bahwa masalah tidur di lingkungan yang asing adalah tindakan untuk bertahan hidup lebih dari lingkungan asing yang berpotensi berbahaya. Dengan menjaga sebagiannya untuk lebih waspada dibandingkan lainnya sebagai penjaga malam, yang membangunkan tidur ketika sinyal eksternal asing terdeteksi."
Ahli dalam ilmu linguistik dan psikologis kognitif di Brown University, Amerika Serikat, Profesor Yuka Sasaki, mengatakan teknik bertahan hidup ini sudah ditemukan juga di hewan.
"Kita tahu bahwa hewan laut dan beberapa burung menunjukkan tidur uni-hemispheric, satu terbangun dan yang lainnya tidur," katanya dilansir dari Independent.
Sementara efeknya tidak tampak seperti diumumkan pada manusia, Sasaki mengatakan bahwa penelitian mereka menunjukkan, "otak kita mungkin memiliki sistem miniatur seperti yang dimiliki paus dan lumba-lumba."
Saat ini, para peneliti mencoba untuk menghindari bagian dari otak yang 'terjaga' dengan menggunakan stimulasi magnetik, dan mencari tahu dapatkah membantu orang untuk tidur.
"Otak manusia sangat fleksibel," kata Sasaki. "Jadi, orang yang sering berada di tempat-tempat baru belum tentu tidurnya selalu terganggu."
Dia menyarankan orang-orang yang mengalami ini dapat menguranginya dengan membawa bantal sendiri ketika tidur jauh dari rumah.
"Di Jepang, mereka mengatakan 'jika Anda mengubah arah bantal Anda, Anda tidak bisa tidur," katanya. "Anda tidak tidur dengan baik di tempat baru, dan kita tahu semua tentang itu," pungkasnya.
(sil/sil)