Jakarta, CNN Indonesia -- Dulu, istilah ‘pahlawan tanpa tanda jasa’ erat melekat pada profesi guru, sang pendidik generasi muda. Namun, seiring berjalannya waktu, fungsi dan peran guru perlahan bergeser.
Guru bukan lagi sumber tunggal informasi baru. Sumber pengetahuan kini datang dari gawai dengan internet sebagai motor. Di sisi lain, fungsi guru juga beralih. Tidak hanya sebagai pengajar, melainkan fasilitator, pendorong agar siswa lebih kreatif dan berkembang sesuai minat serta bakat mereka.
Hal ini dipahami betul oleh Atim Ilyas, salah satu pengajar di SDN 01 Tegal Parang, Jakarta Selatan. Tahun ini, Atim genap tiga dekade menjadi pengajar.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Tidak terbayang masih menjadi guru dan mengajar di tengah pesatnya kemajuan teknologi seperti saat ini,” kata Atim kepada
CNNIndonesia.com, belum lama ini.
Pengajar kelas IV SDN 01 Tegal Parang itu merasa belum lama mengajar dengan menulis di papan tulis hitam dan bermandikan debu kapur demi meneruskan ilmu bagi penerus bangsa.
Tapi, selama 30 tahun mengabdi sebagai tenaga pendidik, Atim mensyukuri bahwa profesinya masih dianggap mulia. Terlebih saat ini kesejahteraan guru sudah jauh lebih baik.
“Dulu gaji guru itu kecil, sekarang lumayan,” ungkapnya.
Bukan hanya soal pendapatan dan teknologi yang ia rasa berubah sejak mulai mengajar pada 1982. Ia juga merasa perubahan tersebut mendorong orang semakin berminat menjadi guru. Walaupun, tak tumbuh banyak di kalangan siswanya sendiri.
Ia menyadari murid-murid yang ia ajar masih lebih berminat menjadi dokter, insinyur, dan berbagai pekerjaan paradigma era Orde Baru. Hanya ada sedikit perbedaan, seperti mulai banyak yang ingin menjadi pengusaha.
"Sekarang, profesi guru banyak yang jadi incaran karena perhatian terhadap guru sudah cukup dibanding dahulu. Namun banyak yang hanya berorientasi pada materi," kata Atim. “Tapi, yang namanya guru
kan tugas mulia.”
Pendapat serupa juga dirasakan Damar Trianggo Seno yang menjadi guru sejak 2004. Guru kelas 4 SD tersebut juga merasa kondisi saat ini lebih baik walaupun stigma 'masa depan suram' masih ada di benak masyarakat.
"Namun harapannya kalau ada yang ingin menjadi guru, itu datang dari panggilan hati," kata Damar. "Karena ada beberapa hal yang tidak bisa terbayar oleh materi, seperti kebanggaan terhadap anak murid.”
Kemudahan yang dirasa guru saat ini ternyata juga dibarengi perubahan perlakuan dari para orangtua murid. Perubahan ini bahkan membuat para guru menjadi lebih pragmatis.
"Karena sekolah tidak bayar, jadinya muncul kebebasan yang menurut saya kebablasan. Bahkan, orangtua menganggap anak pasti benar tanpa dikoreksi kembali, bahkan ada yang melapor polisi ketika guru menindak tegas," kata Damar.
"Kami bertindak pasti sesuai dengan aturan, bahkan beberapa menjadi paranoid sehingga akhirnya yang terjadi hanya transfer ilmu saja, padahal proses mendidik itu menyangkut pola perilaku siswa juga."
(les)