Jakarta, CNN Indonesia -- Beberapa waktu terakhir, terjadi turbulensi pada sebagian maskapai besar saat melintasi Indonesia. Kejadian yang akrab di dalam dunia penerbangan ini menyebabkan sejumlah penumpang cedera.
"
Turbulence atau guncangan itu ulah alam, guncangan kiri kanan, risikonya tak seberapa. Tapi guncangan naik turun bisa berakibat buruk," kata Kapten Novianto Herupratomo, Direktur Operasi Garuda Indonesia, dalam pres rilis yang diterima
CNNIndonesia.com, pada Rabu (11/5).
"Turbulensi karena awan Cummulonimbus bisa dideteksi dan umumnya dihindari. Tapi guncangan akibat angin dan fenomena alam lain sulit diprediksi, misalnya
clear air turbulence. Hanya pilot sangat berpengalaman dan
skillful yang mampu mendeteksi," tulisnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meski sudah dipahami kru penerbangan, namun kejadian turbulensi kadang belum dimengerti para penumpang. Sehingga turbulensi kerap dipahami sebagai "momen menakutkan" yang terjadi mendadak dan tak siap dihadapi.
Dalam rilis yang tersebar, Kapten Novianto menjabarkan secara teknis mekanisme terjadinya turbulensi di udara, yang biasanya berjenis naik turun.
Badan pesawat seperti Boeing B777 yang panjangnya 70 meter ketika terpapar turbulensi akan naik turun secara rata. Namun dampak naik turun badan pesawat saat turbulensi yang dirasakan pilot di bagian depan ternyata berbeda dengan penumpang di bagian ekor.
Karena pilot selalu mengenakan sabuk pengaman sebanyak tiga bagian, juga telah berpengalaman, maka guncangan yang dirasakan bagian kokpit tidak terlalu berdampak parah.
"Dengan kelenturan bodi pesawat, bagian ekor jika kena guncangan
up and down draft dapat bergerak terlempar
2G force dalam satu detik. Artinya apa? Ekornya secara fisik naik-turun antara -1,5 hingga +1,5 meter atau bergerak naik turun setinggi tiga meter dalam satu detik," tulis Kapten.
Ketika pesawat naik, bagian ekor akan "tertinggal" di bawah. Sedangkan ketika kepala pesawat turun, maka bagian ekor akan terempas ke atas untuk menyeimbangkan kepala pesawat.
Saat penumpang pesawat tidak memasang sabuk pengaman, maka ia dapat ikut terempas atau "loncat" dan mengantarkan kepalanya pada dasar bagasi kabin atau keluar kursi. Bahaya semakin besar ketika penumpang terbentur benda keras sehingga menyebabkan cedera hingga patah tulang.
Kejadian lebih mengancam terjadi pada awak pesawat seperti pramugara atau pramugari yang berdiri di
pantry atau penumpang yang tengah berjalan di kabin. Keduanya dapat terkena barang-barang yang "loncat" dan menimpa mereka.
Bisa DiantisipasiMeskipun seolah menyeramkan ketika membayangkan terjadinya turbulensi yang parah, turbulensi pada dasarnya dapat diantisipasi penumpang. Kapten Novianto menyarankan beberapa teknik.
"Pertama, selalu pakai
seat belt ketika duduk di kursi. Ke-dua, jika perlu berdiri atau jalan, sebelumnya coba buka jendela dan perhatikan cuaca di luar cukup cerah," kata Kapten Novianto.
Menurut sang kapten, pengamatan cuaca ini bertujuan memastikan penumpang mengetahui apakah pesawat tengah menuju kawasan penuh awan Cummulonimbus. Awan yang identik dengan badai ini berbentuk gumpalan-gumpalan mirip jamur berwarna kelabu.
Kemudian ketika berjalan di tengah gang kabin, Kapten Novianto menyarankan untuk berpegangan pada dasar bagasi kabin. Hindari memegang sandaran kursi karena rawan ikut terempas ketika turbulensi.
Pada dasar bagasi kabin, terdapat cekungan yang dapat dijadikan pegangan. Dengan kapasitas bagasi yang dapat menahan bobot 75 kilogram, maka aman bila menjadi tempat bergantung ketika turbulensi terjadi.
Lalu, bila tengah berada di dalam toilet, usahakan tetap berpegangan dengan bertumpu pada
handle.
"Yang terakhir, kalau penerbangan panjang dan tidur dengan selimut, ikat
seat belt di luar selimut sehingga dapat terpantau oleh awak kabin ketika berkeliling berpatroli."
(sil/vga)