"Enak?""Enggak.""Lalu kenapa beli?"
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Lucu aja, unik. Lagi hit di sosial media."Entah sudah berapa kali saya mendengar alasan orang membeli makanan.
Tidak ada yang salah memang, meski terasa aneh.
Zaman sudah berubah. Manusia tidak lagi mengkonsumsi makanan karena alasan perut dan kepuasan. Kini mereka lebih mementingkan seberapa cantik makanan itu bakal tampil di akun pribadi media sosialnya.
Banyak orang lebih memilih makanan hanya karena tampilan atau kepopuleran restoran itu hanya karena bisa menaikkan “gengsi” mereka di Instagram atau media sosial lainnya.
Kalau sudah unggah foto makanan lucu di restoran yang banyak muncul di media sosial, sudah pasti Anda bakal mendulang banyak
likes, followers, atau sekadar ucapan "cool."
Tren inovasi restoran 'bermenu unik' dengan kebiasaan anak-anak muda di mesia sosial ini sebenarnya ibarat 'duluan mana, ayam atau telur?'. Keduanya seperti hubungan sebab-akibat yang sulit ditelusuri jawabannya.
Yang pasti, restoran menu unik akan mendulang banyak pelanggan walaupun sebenarnya makanannya tidak enak-enak amat, yang penting ada sesuatu yang dianggap beda. Bahkan klaim inovatif dari restoran itu biasanya sekadar kemasannya saja.
Sebenarnya tidak ada yang salah, toh makanan atau minuman lebih dulu dinikmati lewat mata baru ke perut. Artinya, saya juga setuju kalau makanan dan minuman yang menarik perhatian dan sedap dipandang juga perlu untuk makanan.
Dan ini didukung oleh satu penelitian dari Oxford University Departement of Experimental Psychology yang menyebutkan bahwa makanan yang 'good looking' bisa meningkatkan nafsu makan dan akan terasa lebih nikmat.
Saya sangat setuju. Saya sendiri juga orang yang akan kehilangan selera makan kalau lihat nasi, sayur dan lauk diletakkan berarakan di meja dan tercampur aduk tak jelas seperti nasi yang dikorek-korek ayam.
Tapi sayangnya, dari pengalaman menjajal restoran baru yang hit dan dianggap unik, kebanyakan rasanya tergolong standar. Bahkan bisa dibilang biasa saja atau lebih parahnya lagi, tak enak. Ini menunjukkan mereka hanya menghadirkan tampilan yang unik tapi menomorduakan rasa.
Fakta ini menunjukkan bahwa banyak restoran yang telah menjual nyawa makanan demi tampilan fisik semata. Makanan tak lagi punya nyawa, tanpa rasa. Rasa istimewa tak lagi jadi kriteria, yang penting tampilan 'Instagramable.' Tampilan jadi nyawa baru sebuah makanan.
Memang zaman sudah berubah, dulu restoran lebih mementingkan cita rasa. Kami berburu restoran yang direkomendasikan karena punya rasa makanan yang enak, bukan karena bagus untuk difoto atau suasana keren untuk nongkrong.
Saya tak munafik, saya juga sering
kok foto-foto makanan restoran di akun instagram. Tetapi bedanya, setiap kali sedang makan, saya selalu bisa tersenyum lebar sambil berkata "enak ya."
Tapi sekarang ini, dibanding "enak ya," saya lebih banyak berkata, "Gini doang?" atau bahkan "Enggak enak," saat mampir ke beberapa lokasi bermenu yang katanya unik padahal kenyataannya hanya jual tampilan.
Semakin sedikit orang yang keluar dari restoran dengan perasaan senang karena puas dengan rasa lezat makanannya. Karena yang 'lapar' sekarang ini adalah ponsel dan akun media sosial, bukan perut.
Inovasi kuliner seharusnya bukan hanya bicara soal penampilan cantik, tapi juga soal rasa makanannya.
Saya rindu restoran baru yang punya inovasi makanan dalam rasa. Buat saya lagi, makanan enak tidak harus aneh-aneh atau bentuknya unik. Rasa tetap menjadi nomor satu.
Seperti kata Julia Child, "
You don’t have to cook fancy or complicated masterpieces — just good food from fresh ingredients.”Buat saya makanan itu adalah kombinasi antara seni dan cita rasa. Makanan harus bisa memuaskan lapar mata dan lapar di perut. Kombinasi keduanyalah yang akan menghasilkan kepuasan sempurna bagi si penyantap.
Ketika salah satunya dihilangkan, separuh nyawa turut hilang. Tak ada satu pun di antara keduanya yang patut dikorbankan. Makanan enak seharusnya sedap dipandang, dan makanan yang sedap dipandang pun seharusnya enak.
Sebut saya si ‘traditional eater’ yang lebih pilih rasa di atas segalanya.
"We all eat, and it would be a sad waste of opportunity to eat badly.” -Anna Thomas