Jakarta, CNN Indonesia -- Maret lalu, sebuah iklan di media sosial menggemparkan publik maya Indonesia. Terekam jelas dari video tersebut seorang bule tengah asik loncat, jungkir balik, dan melintas di antara stupa satu milenium candi Borobudur.
Publik Indonesia semakin geram ketika mengetahui bahwa iklan yang dibuat Red Bull itu nyatanya tanpa izin. Pihak Kemendikbud langsung menyatakan protes karena dapat memicu publik melakukan tindakan serupa dan membahayakan bangunan peninggalan abad ke-9 itu. Red Bull pun mencabut iklan dan meminta maaf.
Kasus Red Bull adalah salah satu contoh tindakan wisatawan yang berpotensi merusak benda cagar budaya. Namun bila Red Bull terekspos media, maka sebenarnya tindakan 'colongan' para wisatawan yang dapat membahayakan cagar budaya atau merusak lokasi wisata dapat beraneka ragam dan mungkin tidak terdeteksi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami tidak ingin kecolongan lagi seperti kasus Red Bull kemarin. Maka untuk pengamanan, terutama di atas candi, kami perketat. Kalau ada yang melanggar, kami beri imbauan dan peringatan," kata Kepala Unit Taman Wisata Candi Borobudur (TWCB), Chrisnamurti Adiningrum, saat berbincang dengan
CNNIndonesia.com, beberapa waktu lalu.
Sebagai lokasi wisata sekaligus cagar budaya, Borobudur sudah menjadi andalan Indonesia dalam menarik wisatawan. Namun statusnya sebagai warisan dunia, menuntut perlakuan khusus terutama dari segi pelestarian.
Chrisnamurti pun mengakui pihak pengelola Candi Borobudur sudah melakukan beragam upaya edukatif dan preventif atas perilaku merusak dari wisatawan. Upaya 'halus' berupa pemasangan peringatan dan imbauan hingga tindakan pengamanan standar seperti pemeriksaan barang bawaan serta pencegahan membawa barang berlebihan sudah dilakukan.
Bahkan, Chrisnamurti juga bekerja sama dengan masyarakat serta pihak keamanan untuk ikut menjaga perilaku pengunjung yang mungkin membahayakan pelestarian bangunan yang sejatinya rumah ibadah tersebut. Namun Chrisnamurti sadar, meski hal mengerikan seperti parkour di candi jarang terjadi, perilaku melanggar dalam bentuk sederhana masih sering terjadi.
"Perilaku yang sering muncul dari pengunjung itu buang sampah sembarangan. Kemudian pengunjung mungkin ingin mendapatkan foto selfie yang bagus, hingga ia melompat atau menaiki stupa candi. Maka dari itu, kami tempatkan petugas untuk menjaga di atas candi," kata Chrisnamurti.
"Namun bila ada yang melakukan pelanggaran, kami lihat dahulu tingkat kesalahannya apa, apakah membahayakan benda cagar budaya atau tidak. Kalau tidak bisa melalui imbauan baik-baik ya kami kerjasama dengan kepolisian untuk menindak mereka. Semua tergantung tingkat kesalahan mereka," katanya.
Namun sekadar mengimbau dan menindak tegas tidaklah dipandang cukup bagi pengelola Borobudur. Khususnya bila musim liburan datang, jumlah pengunjung membludak, seperti pada musim libur Lebaran.
Bila di hari biasa hanya kisaran belasan ribu yang datang mengunjungi Borobudur, maka ketika libur panjang, seperti Lebaran dan Natal, dapat melonjak dua hingga 42 ribu wisatawan.
Padahal, idealnya jumlah wisatawan yang naik ke candi adalah 150 orang dalam waktu bersamaan. Ini karena usia batu Borobudur yang sudah lebih dari 1000 tahun sehingga beban terlalu besar memungkinkan bebatuan dan stupa atau arca menjadi rusak.
"Kami juga berusaha melakukan penyebaran pengunjung dengan berbagai fasilitas, seperti kereta taman, atraksi gajah, dan lainnya di berbagai tempat sehingga pengunjung menyebar, tidak semua ingin naik ke candi. Kalau terlalu ramai, kami berlakukan pembatasan naik sampai candi layak untuk dinaiki. Semua tergantung situasi," kata Chrisnamurti.
(sil)