Jakarta, CNN Indonesia -- Kasus demam berdarah mungkin sudah kepalang sering melalang buana terdengar di telinga masyarakat Indonesia. Namun siapa sangka bahwa masyarakat Indonesia masih harus terus diberikan penyuluhan dan pengetahuan tentang penyakit yang dapat mematikan ini.
Menurut sebuah survei yang dilakukan oleh GlaxoSmithKline (GSK) Costumer Healthcare Indonesia pada 2015 lalu terhadap 1000 responden berusia 15-64, ditemukan bahwa 97 persen orang Indonesia mengetahui tentang demam berdarah. Namun, mereka hanya dapat menyebutkan tiga dari enam gejala yang sudah ditetapkan Badan Kesehatan Dunia (WHO).
Lebih jauh lagi, survei tersebut juga menemukan bahwa 65 persen responden ternyata tidak mengetahui obat yang harus dihindari saat terjadi kasus demam berdarah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Padahal, jenis obat Anti Inflamasi Non Steroid (AINS) seperti ibuprofen dan naproxen dapat menyebabkan bahaya seperti gangguan lambung dan pendarahan saat diberikan pada penderita demam berdarah.
Ketidaktahuan masyarakat Indonesia yang sebenarnya sudah 'disapa' demam berdarah sejak 1968 ternyata menjadi tugas bagi banyak pihak, dan bukan hanya tenaga medis seperti dokter. Mereka yang terdepan dan langsung bersentuhan dengan masyarakat adalah para kader dari Pembinaan Kesejahteraan Keluarga atau PKK.
Para kader PKK yang kebanyakan adalah ibu-ibu ini harus rela berkeliling dari satu rumah ke rumah lain untuk memeriksa jentik, mengingatkan akan bahaya demam berdarah. Bahkan tak sedikit pun dari mereka yang paling awal membantu ketika terjadi kasus demam berdarah (DB) di lingkungan mereka.
Seperti yang dikisahkan oleh tiga ibu PKK yang ditemui CNNIndonesia.com, Selasa (14/6), di kantor GSK Consumer Healthcare Indonesia di bilangan Kuningan, Jakarta Selatan. Ketiga kader PKK tersebut adalah Titik Linarti asal Surabaya, Agustina Sri Waningsih dari Yogyakarta, dan Endang Suryani asal Jakarta.
Ketiganya mendapatkan penghargaan sebagai kader PKK dengan jumlah hasil penyuluhan terbanyak selama sebulan dalam kampanye Bersama Melawan Demam Berdarah. Mereka juga sudah diberikan pelatihan dan pengetahuan demam berdarah oleh GSK bekerja sama dengan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI).
Dari 'Blusukan' Sampai 'Ngeyel'Beragam cara dilakukan ketiga ibu tersebut dalam 'menyadarkan' warga tentang penanganan pertama saat terjadi demam berdarah, dan pencegahannya. Mulai dari hadir dalam setiap pertemuan warga, blusukan mendatangi setiap rumah warga hingga menghadapi keras kepalanya warga ketika diberi tahu oleh para ibu-ibu kader PKK.
Seperti yang dikisahkan Titik. Sebagai ketua PKK di tingkat kecamatan, ia harus merelakan waktunya setiap Jumat dan Sabtu untuk 'blusukan' ke rumah warga. Bukan untuk silaturahim apalagi ngobrol selayaknya ibu-ibu, namun hanya untuk memantau ada atau tidak jentik nyamuk di rumah warganya.
"Pokoknya setiap kali ketemu jentik tuh mulut saya seperti otomatis memberikan penyuluhan," tutur Titik. Dia pun kini sudah tercatat sebagai pemberi penyuluhan terbanyak, yaitu 144 orang.
"Biasanya kalau mau diperiksa, banyak yang tidak mau. Ya sudah saya cek di bagian halamannya, kalau ada jentik saya tebak ada jentik juga di dalam rumah, dan ternyata benar ada di tampungan air dispenser. Memang harus sabar, kalau tidak begitu tidak kena ke mereka," kata Titi.
Bila Titik hanya menemukan rumah yang tak ada pemiliknya karena bekerja, ia tak hilang akal. Asisten rumah tangga yang biasanya selalu ada di rumah pun menjadi sasaran 'ceramah' Titik. Ia berharap sang asisten sebagai yang turun tangan langsung dapat segera menerapkan pemusnahan jentik nyamuk.
Bukan cuma mendatangi rumah warga seperti selayaknya pejabat yang ingin menang Pilkada, bahkan para ibu-ibu kader PKK ini juga mendatangi setiap acara di lingkungan tersebut.
Di lingkungan kemasyarakatan, setidaknya ada kegiatan arisan dan pengajian untuk tingkat Rukun Tetangga (RT), Rukun Warga (RW), dan Kelurahan. Semuanya didatangi hanya untuk memberikan penyuluhan tentang demam berdarah.
"Memang cukup sulit mengumpulkan warga seperti di Jakarta karena bekerja. Makanya kami menggunakan acara lingkungan di malam hari seperti pengajian dan lain-lain untuk diselipkan penyuluhan," tutur Endang.
Endang merupakan kader PKK di daerah Kapuk, Cengkareng yang dikenal sebagai daerah dengan kasus DB tinggi di Jakarta.
"Masalahnya kalau sengaja mengundang warga akan sangat butuh dana. Tapi dengan adanya kumpul di tingkat dasawisma, RT, RW, pengajian-pengajian, jadinya tidak terlalu sulit. Kami mencari waktu seperti itu," kata Endang.
Di daerah seperti Yogyakarta, Agustina bukan berhadapan dengan kesibukan warga. Namun ia justru disibukkan dengan stigma dan pemahaman warga yang masih tertinggal dalam menghadapi DB.
Bahkan, ia bukan hanya bertugas untuk mengingatkan dalam rangka pencegahan, ia pun harus menjadi yang pertama turun tangan bila terjadi kasus DB di wilayahnya.
"Masyarakat itu kalau ada kasus DB, langsung minta fogging padahal itu racun ganggu pernapasan dan sifatnya hanya melemahkan nyamuk besar, jentiknya mah masih ada," kata Agustina yang tinggal di Umbulharjo, Yogyakarta.
"Dan masih banyak masyarakat yang menganggap kalau terjadi DB cukup dikasih jus jambu atau jus daun pepaya dan angkak dari Mbah Gemuk," tutur Agustina. Angkak adalah sejenis jamu yang terbuat dari beras merah dan diyakini dapat menyembuhkan DB.
"Banyak yang ngeyel soal angkak itu. Padahal untuk sembuh, yang penting anaknya diberi paracetamol, istirahat yang cukup, dan pastikan asupan cairan cukup. Berarti tidak mesti jus jambu atau pepaya, kalau anaknya suka jus jeruk ya diberi saja. Lha ini biasanya anak dicekoki jus jambu sampai
gumoh (mual),"
Endemik DBIndonesia sebagai negara tropis tak dapat menghindar menjadi tempat favorit bagi nyamuk untuk berkembang biak, termasuk bagi Aedes Aegypti yang adalah pembawa atau vektor virus dengue penyebab DB.
"Kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia, adalah endemik DBD kategori A. Artinya, penyakit ini membuat jumlah pasien inap di rumah sakit dan kematian pada anak," kata Ferawati Lie, dokter sekaligus Medical Advisor GSK Consumer Healthcare Indonesia. "Namun, ternyata sebanyak 65 persen masyarakat tidak tau obat yang tepat untuk diberikan pertama kali saat DB."
Ferawati beranggapan bahwa peran ibu yang vital dalam keluarga menjadi sasaran utama untuk menyadarkan masyarakat tentang DB. Dan PKK sebagai lembaga dengan komposisi mayoritas ibu-ibu, dinilai cocok menjadi garda terdepan.
Sejauh ini, sudah ada 227 kader PKK di Jakarta, Surabaya, dan Yogyakarta yang sudah dilatih tentang DB. Dari ratusan kader tersebut, tercatat sudah 5000 orang ibu-ibu di Indonesia yang diberikan penyuluhan dari 10 juta warga teredukasi hingga akhir 2016.
Mengingat jumlah yang masih jauh dari target, para ibu-ibu teredukasi sangat diharapkan menjadi perpanjangan tangan kader PKK dalam menyampaikan penanganan DB yang baik. Bersamaan dengan itu, penyuluhan tetap dilakukan karena dianggap sebagai cara paling ampuh dan dibutuhkan masyarakat.
"Bagi ibu-ibu, penyuluhan lebih penting dibanding diberi bantuan seperti obat Abate. Obat tidak memberi pengetahuan, kalau penyuluhan dan pengingatan itu manfaatnya lebih banyak. Yang penting kader PKK tidak bosan memberikan penyuluhan." kata Endang.
"Dahulu, ketika ada pemberian obat Abate dan tidak dibarengi oleh penyuluhan, obat hanya ditaruh saja sampai terkumpul banyak di rumah warga. Mereka sampai heran obatnya belum dipakai tapi sudah diberi kembali, tapi karena ada sosialisasi mereka jadinya sadar." imbuh Agustina.
"Ya semoga kegiatan penyuluhan ini terus berlanjut karena setiap tahun DB ada terus, apalagi saat pancaroba. Dan semoga angka kematian DB semakin turun." tambah Titik.
(meg)