Jakarta, CNN Indonesia -- Kematian anak di bawah usia 5 tahun telah lama menjadi sorotan banyak pihak termasuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Salah satu penyebab hal tersebut adalah kelahiran prematur.
Bayi yang lahir terlalu dini berhubungan dengan berat lahir rendah yang berkontribusi sebesar 37,5 persen pada angka kematian bayi di Indonesia pada tahun 2012.
Sementara Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) yang jadi rujukan nasional mencatat jumlah kelahiran prematur mencapai 42,44 persen pada 2013.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain berat badan rendah, bayi prematur juga kerap mengalami masalah pernapasan atau apnea prematur.
Apnea merupakan kondisi ketika pernapasan bayi atau manusia berhenti dan sering terjadi selama beberapa detik yang kemudian diikuti dengan penurunan pengambilan oksigen secara ekstrim. Salah satu tanda yang menyertai apnea adalah detak jantung yang melambat.
Namun, terinspirasi dari cara tradisional dan cara manusia purba bertahan hidup, peneliti University of California Los Angeles (UCLA) menemukan sebuah alat sederhana untuk menghadapi kondisi apnea.
Alat tersebut berbentuk seperti kotak pager dengan kabel yang dihubungkan dengan cakram kecil dan kemudian ditempatkan pada permukaan kulit di atas sendi tangan dan kaki.
Menurut Ronald Harper ahli neurologi David Geffen School of Medicine UCLA, alat ini bekerja berlandaskan teori evolusi, yaitu manusia purba berlari merangkak sehingga dapat diasumsikan saraf di tangan masih terlibat dalam memberikan sinyal ke otak bahwa tubuh sedang berjalan.
"Ketika kaki berpijak di tanah dan berjalan, tubuh melenturkan otot dan sendi sarat saraf yang memberi sinyal ke otak bahwa tubuh tengah berjalan," kata Harper melansir
laman resmi kampus tersebut.
"Pesan ini berpasangan dengan saraf lainnya di otak yang mengatur pernapasan dan mengirimkan sinyal ke organ untuk mengambil lebih banyak oksigen. Beruntungnya, cara ini bahkan sudah ada sejak bayi masih sangat muda," lanjutnya.
Kasus apnea pada bayi prematur disebabkan karena sistem pernapasan belum sepenuhnya sempurna. Sistem pernapasan pada bayi prematur menolak atau tidak dapat menerjemahkan sinyal tubuh untuk bernapas.
Karena paru-paru bayi belum sepenuhnya terkembang sehingga tak sanggup menangkap oksigen sesuai kebutuhan, ini dapat mengarah pada kondisi berbahaya bagi sang bayi.
Dan ketika pernapasan berhenti, walau hanya sejenak, ini menyebabkan penurunan asupan oksigen yang diikuti dengan melambatnya denyut jantung. Kombinasi ini sanggup merusak paru-paru dan mata, melukai pembuluh darah, dan mempengaruhi sistem hormon, hingga cedera pada otak.
Beragam cara banyak dilakukan oleh rumah sakit modern, seperti menelungkupkan bayi, memasukkan udara ke paru-paru, hingga memberikan kafein untuk menstimulus otak, namun belum ada yang benar-benar efektif.
Beberapa cara tradisional di Indonesia mirip dengan yang dilakukan oleh para peneliti ini. Di Indonesia, para suster atau bidan biasanya mengelus-elus kulit bayi untuk merangsang bernapas.
Ketika para peneliti kemudian menguji alat tersebut pada 15 bayi prematur dengan pengaturan enam jam menyala dan enam jam mati selama 24 jam, hasilnya mengejutkan.
Hasil saat alat dinyalakan menunjukkan bahwa jumlah asupan oksigen rendah bayi menurun hingga 33 persen dan jumlah terhentinya pernapasan menurun 40 persen. Pemberian alat ini juga menurunkan rasio denyut jantung rendah hingga 65 persen, yang berarti jantung lebih optimal mengirimkan darah ke organ vital.
"Penggunaan alat ini dalam jangka panjang dapat menurunkan jeda bernapas, menjaga kadar oksigen tetap normal, menstabilkan sistem kardiovaskular, dan membantu meningkatkan hasil perkembangan saraf pada bayi prematur," kata Kalpashri Kesavan, neonatologi Mattel Children Hospital UCLA yang ikut menemukan alat ini.
"Kami mungkin dapat membawa perubahan ini dengan sesuatu yang noninvasif, bebas obat-obatan, dan tidak memiliki efek samping. Dan tidak ada yang lebih baik dari itu."
Penelitian ini dipublikasikan dalam jurnal
PLOS One.
(les)