Jakarta, CNN Indonesia -- Bertepuk sebelah tangan atau tak mendapatkan sesuatu sesuai harapan seringkali berbuah kekecewaan. Tak sekadar konsep, sebutan itupun sudah dibuktikan secara ilmiah.
Dalam sebuah penelitian terungkap bahwa terlalu berharap akan cenderung menggiring seseorang dalam kekecewaan kronik yang mendalam. Penelitian tersebut dilakukan oleh Case Western Reserve University dan dirilis dalam jurnal Psychological Bulletin edisi Agustus 2016.
Peneliti menyebut bahwa banyak berharap membawa seseorang ke 'lingkaran kesulitan abadi'. "Pada taraf ekstrim, pengharapan adalah sifat narsis yang beracun, terjadi berulang kali pada seseorang membawa risiko pada frustrasi, ketidakbahagiaan dan kekecewaan pada hidup," kata peneliti dari Case Western Reserve University, Joshua Grubbs, seperti dilansir dari
Health.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Grubbs menambahkan, seringkali, hidup, kesehatan, penuaan dan dunia sosial tidak memperlakukan orang sesuai dengan keinginannya.
"Melawan keterbatasan ini sangat membahayakan terutama bagi mereka yang sering berharap karena akan mencederai pandangan diri mereka sendiri terhadap dunia," ujar Grubbs yang juga menjabat professor psikologi Bowling Green State University.
Para ilmuwan meneliti 170 makalah akademis dan menemukan bahwa orang dengan rasa berharap yang tinggi akan menjadi korban harapan itu sendiri dalam tiga tahapan.
Pertama, mereka tidak selalu mendapatkan semua yang mereka kira layak didapat. Kondisi ini menyebabkan mereka selalu menjadi pihak yang rentan mengalami kegagalan, tak mendapat sesuai harapan.
Harapan yang tidak terwujud itu kemudian akan dianggap sebagai sebuah ketidakadilan dalam hidup mereka dan memunculkan emosi labil seperti marah dan kesedihan.
Terakhir, sebagai pembenaran akan emosi labil itu, orang dengan banyak berharap akan meyakinkan diri mereka sendiri akan keunggulan yang mereka punya dibanding orang lain.
Tindakan ini akan membuat orang banyak berharap merasa lebih baik, namun hanya sementara. Yang terjadi selanjutnya adalah kembali pada siklus kekecewaan.
Menurut salah satu penulis penelitian ini yang juga seorang profesor psikologi Case Western Reserve University, Julie Exline, seiring dengan kekecewaan tersebut muncul dampak pada hubungan sosial yang buruk, konflik antar personal dan depresi.
"Sangat banyak pengharapan berkaitan dengan kompetisi, seperti menjadi lebih baik atau lebih layak dibandingkan orang lain," katanya kepada Health. "Ini sangat menjauhkan diri sendiri terhadap lingkungan dan sangat terisolasi."
Exline mengakui bahwa tidak mudah bagi mereka yang memiliki sifat narsis ini untuk melihat diri mereka sendiri atau mengubah pola pikir mereka. Namun dia percaya bahwa ada cara tertentu yang dapat dilakukan untuk orang yang penuh harapan ini.
"Kondisikan diri sendiri untuk berpikir orang lain dan apa yang mereka layak dapatkan. Dan juga bersedia mengakui kesalahan dan melihat kelemahan diri sendiri. Ini dapat menolong Anda merasa lebih terhubung dengan orang lain," kata Exline.
"Mampu mengakui bahwa orang lain juga spesial, seperti dirinya sendiri, akan menolong seseorang mengubah pola pikir jadi salah satu bentuk bersyukur, alih-alih berharap lebih," katanya.
(meg)