Ajeng Dewi Swastiari, Fashion Director yang Berawal dari Babu

Megiza | CNN Indonesia
Sabtu, 29 Okt 2016 13:24 WIB
Kesuksesan sebuah peragaan busana tak melulu dari karya sang desainer, tapi ada sosok lain yang turut jadi faktor penentu keberhasilan.
Kesuksesan sebuah fashion show tak melulu dari karya sang desainer. Ada sosok lain yang menjadi faktor penentu keberhasilan sebuah peragaan busana yaitu Fashion Director seperti yang dilakukan oleh Ajeng Dewi Swastiari (kanan). (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia -- Panggung fesyen memang menjadi tempat desainer-desainer mode menunjukkan karya. Penampilan para model yang mengenakan busana dengan konsep jahitan dan warna yang kreatif selalu membawa pulang cerita bagi tamu yang menyaksikan sebuah fashion show.

Namun kesuksesan sebuah peragaan busana tidak serta merta berhasil karena buah pikiran si desainer yang menciptakan busana-busana cantik nan memukau itu. Ada sosok penting yang mempunyai andil besar. Fashion Director namanya.

Di industri fesyen Indonesia, salah satu orang yang memegang peranan penting dalam banyak fashion show adalah Ajeng Dewi Swastiari. Perempuan kelahiran Jakarta 32 tahun yang lalu itu sudah punya sederet portfolio sebagai faktor penentu pagelaran busana desainer-desainer ternama.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Nama perempuan lulusan Sastra Inggris Universitas Padjadjaran dan pemegang Diploma dari sekolah desain LaSalle ini kian dikenal sebagai fashion director panggung busana. Dia menyandang label sebagai pengarah fashion show sejak dua tahun lalu.

Kolaborasinya dengan desainer Stephanus Hamy pada tahun 2014 menjadi pembuka perjalanan Ajeng sebagai fashion director. Setelah ajang Bazaar Fashion Festival itu, Ajeng kemudian dipinang sebagai fashion director oleh desainer yang juga sudah mempunyai nama besar, Tri Handoko.

Akan tetapi momen itu bukan langkah pertama Ajeng di dunia fesyen. Tujuh tahun lalu, dia menjejakkan kaki pertama kali sebagai fashion stylist. Hanya saja, kala itu dia lebih menguras tenaganya untuk mendandani para pelaku industri hiburan. Sentuhan gaya rias Ajeng sudah banyak dikenal di kalangan penyanyi.

Hampir delapan tahun mondar-mandir mengurus belakang panggung fesyen dan pertunjukan, Ajeng memang sudah mempunyai posisi yang sangat diperhitungkan para pelaku fesyen.

Beberapa tahun silam Ajeng memang bertugas menjadi 'babu' di ruang rias, tapi kini sosoknya lebih sering terlihat berdiri di panggung FOH (Front of House) catwalk.

"Dulunya babu, masang-masang sepatu, jahit pakaian on the spot. Sekarang masih jadi tukang sih, tapi sudah lebih banyak urus quality control," kata Ajeng sambil tertawa saat berbincang dengan CNNIndonesia.com di sela-sela persiapan Jakarta Fashion Week di Senayan City, Selasa (25/10).
Ajeng Dewi Swastiari menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan fashion show desainer mode. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Bicara soal karakter, di kalangan desainer atau penyelenggara fesyen, Ajeng dikenal kuat dengan nuansa kegelapan, maskulin dan penuh drama. Dia mengaku banyak terinspirasi dari musik yang didengarkan ataupun tempat-tempat yang dikunjunginya.

"Aku orangnya konsep banget. Yang biasanya aku tuang adalah sesuatu yang aku rasakan. Aku bikin karya itu biasanya based on music. Aku juga senang bikin musik sendiri," ujarnya.

Meski begitu, Ajeng tak menampik ada kalanya dia mengalami writers blocked alias merasa tak memiliki ide baru untuk fashion show yang ditanganinya. Tidak jarang insiprasi pun datang di menit-menit terakhir.

"Sering banget writers blocked. Sudah minggu ke berapa aku belum nemu apa-apa. Tapi ketika melihat pacar atau sesuatu akhirnya ketemu ide juga dalam menit-menit terakhir," akunya.

Gagasan-gagasan yang kerap berlompatan di kepalanya jelang tanggal pertunjukan itu juga yang kemudian membuat Ajeng mempunyai karakter spontan dalam membuat desain. Dia pun merasa lebih senang mendesain sendiri segala hal yang terkait dengan show yang ditanganinya.

"Aku orangnya DIY (Do It Yourself). Aku masih turun ke lapangan. Istilahnya aku tukang. Aku ngelakuin itu sendiri. Aku suka membuat konsep tapi juga spontan di menit terakhir. Kalau sudah ketemu mapnya, aku bagi ke anak buah dan mereka yang eksekusi," ungkap Ajeng.

Walau sering mendadak muncul ide baru di detik-detik terakhir, Ajeng tetap harus menyampaikan kepada desainer fashion show yang dipegangnya. Baginya, esensi atau DNA si desainer sangat penting.

"Kalau aku menghilangkan DNA desainernya ya buat apa? Jangan mengalahkan karya mereka dengan ego kita," ujar perempuan yang juga pengajar Fashion Marketing di Raffles Institute ini.

Pada gelaran Jakarta Fashion Week kali ini, Ajeng terhitung menangani dua slot show yang beberapa di antaranya adalah milik Mel Ahyar dan Agnes Monica. Tahun ini adalah kali kedua Ajeng masuk dalam keriuhan fashion week.

Bicara tentang 'kegilaan' bekerja di belakang panggung fesyen, Ajeng bercerita dirinya bahkan pernah menginap dan tidur di depan salah satu toko di dalam mal. Profesi yang dijalankannya saat ini bahkan seringkali membuat dia bekerja 36 jam dalam satu hari.

Tak jarang Ajeng tiba di rumah pada pukul 01.00 dini hari dan harus sudah siap di lokasi show tiga jam kemudian. Dulu, kata Ajeng, dia memang tak terlalu memedulikan perkara kesehatan dengan jam kerja seperti itu. Tapi kini, Ajeng mengaku sangat memikirkan kesehatan dirinya dan orang-orang yang tergabung dalam timnya.

"Dulu sempat berpikir kalau enggak sakit enggak bakal jadi karya. Tapi sekarang aku mikirin kesehatan. Karena sehat itu yang bikin pekerjaan kita jadi maksimal. Yang penting, menurut aku, kesehatan mental," kata perempuan pemilik empat tattoo ini.
Hampir delapan tahun mengurus belakang panggung fashion, Ajeng kini mempunyai peran penting dengan mengontrol jalannya fashion show dari bilik FOH (Front of House) sebuah catwalk. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)

(meg/meg)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER