Jakarta, CNN Indonesia -- Kebebasan berpendapat dan menggunakan media sosial bukan hanya memperkaya wawasan, namun di sisi lain juga memicu peningkatan kasus pelecehan dan ancaman. Demikian hasil sebuah survei yang dilakukan di Amerika Serikat.
Melansir AFP, hasil survei menemukan fakta bahwa hampir separuh pengguna internet di Amerika Serikat mengaku jadi korban pelecehan secara daring atau penghinaan mulai dari sekadar panggilan nama hingga kasus kuntit dan ancaman fisik.
Beberapa golongan yang menjadi korban sisi gelap internet ini kebanyakan wanita, berusia di bawah 30 tahun, serta mereka yang mengaku sebagai
gay, lesbian, atau biseksual.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Golongan ini lebih rentan menjadi korban pelecehan dan intimidasi di internet sehingga lebih sering melakukan sensor diri seputar apa yang mereka akan unggah di media sosial dan dampak yang mungkin ditimbulkan.
Menurut hasil yang didapat Data and Society Research Institute dan Center for Innovative Public Health Research tersebut, sebesar 47 persen masyarakat melaporkan pernah mengalami setidaknya satu bentuk hinaan atau pelecehan di dunia maya dari orang yang tidak mereka kenal.
Dan lebih dari sepertiga atau sebanyak 36 persen pernah mengalami pelecehan langsung, termasuk dipanggil dengan nama ejekan, diancam secara fisik atau dikuntit.
Tiga dari sepuluh responden mengatakan mereka pernah menjadi korban dari 'invasi privasi' seperti pencurian data atau foto sensitif yang diunggah atau diakses tanpa izin, atau menjadi sasaran pelacakan aktivitas daring.
Dan sebagian besar responden, sebesar 72 persen, juga mengatakan mereka pernah menjadi saksi atas perbuatan tersebut.
"Studi ini menunjukkan bahwa tidak semua orang memiliki pengalaman yang sama di dunia maya. Jadi bila Anda tidak melihat atau merasakan secara personal banyak pelecehan, itu tidak berarti tidak ada kasus untuk orang lain," kata peneliti utama, Amanda Lenhart.
"Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa keberadaan atau ancaman pelecehan secara daring memberikan dampak pada keseluruhan elemen komunikasi di dunia maya, bahkan di luar target pelecehan," lanjutnya.
Hasil penelitian juga menunjukkan kebanyakan dari korban pelecehan daring ini telah melakukan serangkaian tindakan proteksi diri.
Sebesar 43 persen dari responden korban pelecehan mengganti alamat surel atau nomor telepon mereka, atau menciptakan akun media sosial baru dengan nama berbeda.
Dan hanya sebanyak 33 persen responden meminta bantuan teman, anggota keluarga, bantuan hukum, atau organisasi anti kekerasan di daerah mereka masing-masing.
Para peneliti juga menemukan bahwa satu dari empat responden mengaku telah ditandai sebagai konten bermasalah atau terputus dari jaringan daring ataupun media sosial.
Banyaknya kasus penghinaan yang terjadi di media sosial membuat para pengembang jaringan sosial meningkatkan keamanan dan kenyamanan pengguna. Baru-baru ini, Twitter mulai meluncurkan sebuah fitur yang memungkinkan pengguna 'tak mengacuhkan' komentar yang tidak diinginkan.
(vga/vga)