Jakarta, CNN Indonesia -- Nyaris tidak ada perbedaan mencolok dalam kehidupan remaja dari masa ke masa. Mereka tetap merasakan gejolak perubahan hormon maupun fisik, terutama organ seksual, yang menandai transformasi dari kanak-kanak menuju dewasa.
“Yang membedakan adalah tantangan sesuai masanya,” kata Melisa Mangunsong, master psikologi, yang berpengalaman menjadi psikolog sekolah di beberapa lembaga pendidikan di Jakarta dan Tangerang. “Untuk masa sekarang, tantangannya adalah internet.”
Remaja, sesuai batasan yang ditetapkan WHO, adalah kaum muda antara usia 10-19 tahun. Sementara menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2014 tentang Upaya Kesehatan Anak, batasannya usia 10-18 tahun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di rentang usia tersebut, jiwa dan raga remaja, sebagaimana dikatakan Melisa, belum ajek. Mereka masih membutuhkan arahan dan penanganan orang tua serta guru lantaran belum bisa 'dilepas' begitu saja, terutama saat dirundung masalah.
“Saat remaja dirundung masalah, ia merasa masalahnya adalah
First World problem,” kata Melisa kepada
CNNIndonesia.com di Jakarta, pada Kamis (11/8). Maka tidak heran bila mereka terkesan
lebay saat bercerita soal masalah yang dialami.
Salah satu contohnya, remaja 19 tahun bernama Karin Novilda yang begitu blak-blakan mengumbar kepedihannya ditinggal kekasih, Gaga, via video yang diunggah di
YouTube sekitar tiga pekan lalu. Sepanjang 20 menit, Karin curhat dengan berurai air mata.
Lantaran merasa masalah yang sedang dihadapi tak ubahnya masalah utama dunia, Karin bagai lepas kendali. Pemilik akun
Instagram Awkarin ini merasa dunia runtuh. Di videonya, ia menyimpulkan, 'ternyata ketidaksempurnaanku meruntuhkan kesetiaanmu.'
Karin memamerkan video curhatnya di
YouTube yang bisa diakses banyak orang lantaran ia memang produk masa kini yang kebetulan mengakrabi internet. Ia berkarya melalui internet, dan pada saat dihantam masalah, ia juga berkeluh kesah melalui dunia maya.
Jikapun tak ada internet, menurut Melisa, yang berpengalaman menjadi psikolog sekolah di beberapa lembaga pendidikan di Jakarta, remaja, tak terkecuali Karin, memiliki
imaginary audience dalam benaknya. “Ia selalu merasa diperhatikan.”
Hidup di era digital, dikatakan Melisa, seharusnya memudahkan remaja untuk berkiprah secara positif. Namun hal itu hanya mungkin bila orang tua turut andil membimbing dan mengawasi buah hatinya. Sebab remaja memang belum memiliki kontrol diri.
“Remaja belum bisa mengontrol diri. Mereka tidak punya kemampuan untuk menunda. Apa yang dipikirkan harus segera dilakukan, tanpa menyadari risikonya. Jika ingin
curhat, ya
curhat saja. Kini mereka lebih agresif dalam mengungkapkan isi pikiran,” kata Melisa.
Namun tidak semua remaja bisa mengungkapkan buah pikiran maupun perasaan dengan bijak. Hasilnya, ada remaja yang introvert di dunia nyata, namun ekstrovert di dunia maya. Sekali lagi, menurut Melisa, ini lantaran kontrol dirinya belum matang.
Menyadari hal ini, orang tua tidak perlu khawatir. Remaja yang ‘belum matang’ bisa dilatih dan diarahkan agar menjadi benar. Bila tidak dididik, Melisa mengkhawatirkan efek kontrol diri yang belum matang itu berujung perilaku tidak jujur, macam korupsi.
Bila remaja dididik dan diarahkan oleh orang tua, perilaku mereka lebih santun di dunia nyata maupun dunia maya. Jikapun mereka memamerkan eksistensi di ranah
online, maka karya yang dihasilkan berdampak positif, bermanfaat dan disukai banyak orang.
Melisa mencontohkan kiprah kaum muda yang mengembangkan laman
Meja Kita dan
Indovidgram. Mereka terkenal di dunia maya berkat karya positif. Berbeda dengan ‘karya’ berupa
curhat lebay yang memicu
bully, dan bukan mustahil menjadi ‘First World problem’ baru.
Kiprah positif ini sejalan dengan cita-cita Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) yang menetapkan 12 Agustus sebagai Hari Pemuda Sedunia. Sekalipun ‘rapuh,’ PBB yakin, kaum muda mampu diandalkan untuk berkontribusi positif bagi negerinya, juga dunia.
Sekjen PBB Ban-ki moon menetapkan Hari Pemuda Sedunia tahun ini dibarengi tema ‘Menuju 2030: Memberantas Kemiskinan serta Mencapai Konsumsi dan Produksi Berkelanjutan.’ Intinya, remaja dipercaya bisa berperan aktif termasuk dari segi ekonomi.
Dengan kata lain, kaum muda yang kerap dituding
lebay dan labil, sebetulnya bisa diandalkan untuk turut membangun negeri. Mereka dapat berkontribusi sesuai potensi dan kapasitasnya. Sesuai eranya, kontribusi sebagian mereka tak jauh-jauh dari internet.
Namun layaknya dua sisi mata uang, usaha remaja melalui internet, baik blog, vlog atau media sosial, memberikan keuntungan sekaligus membuatnya gamang. Belum lagi tanggapan negatif para pembenci (
haters) yang tak segan melakukan
cyber-bullying.Hasil penelitian McAfee, pada 2014, menunjukkan fakta 87 persen remaja menjadi korban bully. Sebagian di antaranya menjadi korban
bully di ranah maya, via Facebook, YouTube, Twitter, Instagram. Sasaran
bully terbanyak, soal penampilan, pendidikan dan ras.
Maka sudah sewajarnya orang tua mengarahkan dan mendidik anak-anak, terutama remaja, agar mereka mampu membawa diri secara bijak. Dengan begitu, mereka menjadi pribadi yang menyenangkan saat bergaul di dunia nyata mapun dunia maya.
(vga/les)