Jakarta, CNN Indonesia -- Hingga memasuki abad ke-21, masyarakat Indonesia masih belum paham soal HIV dan AIDS. Padahal dua dekade terakhir, Pemerintah telah memberikan perhatian terhadap kasus HIV dan AIDS dengan mengupayakan pencegahan dan penanganan.
"Menurut kami, upaya penyadaran masyarakat baru bisa dilakukan dengan pemberian informasi yang terus menerus," kata Bernhard Adilaksono dari Yayasan AIDS Indonesia, saat berbincang dengan CNNIndonesia.com, beberapa waktu lalu.
"Berdasarkan pengalaman kami ke lapangan, masyarakat tahu ada HIV dan AIDS, namun terkait lebih dalam tentang kedua hal itu, masyarakat masih belum paham," Bernhard menambahkan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bentuk ketidakpahaman masyarakat disebut Bernhard dapat dilihat dari banyaknya anggapan bahwa HIV, sebagai virus yang kemudian dapat berujung dengan kondisi AIDS, menular melalui udara dan nyamuk.
Padahal HIV hanya dapat tertular melalui transfusi darah, jarum tato, jarum suntik, hubungan seks tanpa kondom dan aman, kehamilan, dan menyusui. HIV tidak akan menulari orang yang berbagi fasilitas, makan bersama, bersentuhan kulit, berpelukan, bahkan berciuman.
Stigma yang melekat selama ini, disebut Bernhard, dapat digolongkan menjadi dua hal: stigma karena ketidakpahaman masyarakat terhadap orang dengan HIV/AIDS (ODHA) atau stigma yang muncul dari ODHA sendiri lantaran tidak paham HIV.
Salah satu tanda seseorang menyadari dan paham HIV adalah dengan memeriksakan diri sendiri melalui tes HIV. Tes ini masih dipandang tak ubahnya momok yang menakutkan lantaran stigma yang kadung melekat pada HIV.
"Kebanyakan orang baru ke dokter saat mereka sakit, saat tidak sakit tidak akan ada keinginan datang ke dokter apalagi sekadar tes," kata Bernhard.
"Padahal," ia menambahkan, "dari HIV ke AIDS butuh lima hingga delapan tahun sejak pertama kali terinfeksi, dan sejak hari pertama hingga terlihat sakit, ia tidak sadar dan dapat menulari orang lain."
Ketika virus HIV pertama kali masuk ke tubuh, tiga hingga enam bulan pertama disebut periode jendela. Dalam masa ini, sama sekali tidak terlihat ada gejala terinfeksi dan orang terinfeksi akan merasa dirinya sehat.
Setelah melalui periode jendela, HIV semakin memperbanyak diri sehingga masuk kategori fase HIV positif. Selama masa ini, mulai masuk gejala-gejala penyakit mulai dari hal sepele seperti jamur pada kulit, sariawan, hingga penyakit serius.
Dan bila semakin terlambat, orang yang terinfeksi HIV dapat masuk ke fase AIDS, yaitu ketika daya tahan tubuh sudah sangat rendah sehingga diserang berbagai penyakit. Beberapa penyakit kronis seperti hepatitis, meningitis, pneumonia, dapat menyerang secara bersamaan.
Bernhard memberi contoh kesadaran tes HIV yang masih rendah berdasarkan data jumlah kumulatif kasus HIV dan AIDS berdasarkan provinsi yang diterbitkan oleh Kementerian Kesehatan RI pada Maret 2016.
Sebagai contoh, DKI Jakarta memiliki jumlah pengidap HIV tertinggi di Indonesia yaitu 40.500 dan penderita AIDS sebanyak 8.105. Sedangkan Jawa Timur, memiliki jumlah pengidap HIV lebih sedikit dari DKI Jakarta yaitu 26.052, namun memiliki angka AIDS lebih tinggi sebesar 14.499.
Perbedaan angka ini diartikan Bernhard bahwa DKI Jakarta mulai menunjukkan keberanian untuk deteksi dini melalui tes HIV. Pendeteksian secara dini dapat memperlama proses HIV berubah menjadi AIDS.
"Setidaknya ini sudah satu
step, orang mulai berani periksakan dirinya," kata Bernhard.
Masih Was-wasCNNIndonesia.com menggelar polling via media sosial untuk melihat seberapa besar pemahaman masyarakat tentang HIV/AIDS. Berdasarkan hasil polling yang diikuti lebih dari 440 orang tersebut diketahui beragam anggapan masyarakat tentang HIV/AIDS dan ODHA.
Secara umum, masyarakat sudah cukup paham tentang penyebaran HIV yaitu dapat berupa seks tanpa pengaman (57 persen) dan darah (40 persen). Namun masih ada yang menganggap HIV dapat tertular melalui udara, air liur, sentuhan dan berbagi barang.
Namun stigma seks bebas dan pengguna narkoba masih menjadi hal pertama yang muncul di benak masyarakat saat pertama kali mendengar kata 'HIV' sebesar 41 persen.
Ketika masyarakat berhadapan dengan ODHA secara langsung, publik memahami bagaimana sulitnya kondisi ODHA dan berempati kepada mereka. Namun, pada saat bersamaan, orang awam akan merasa gelisah saat mengetahui ada ODHA di dekat mereka. Sebesar 54 persen responden mengakui hal ini.
Publik juga mengakui bahwa Indonesia masih belum paham betul HIV/AIDS dan hanya mengetahui keberadaan penyakit ini (69 persen).
Dan sebesar 89 persen responden setuju bila diadakan penyuluhan secara rutin, dan menurut responden kampanye paling efektif adalah di sekolah/kampus serta iklan dan pemberitaan di media.
(vga/vga)