Jakarta, CNN Indonesia -- Banyak pasangan yang telah menikah mengimpikan segera berganti status menjadi orang tua, memiliki keturunan yang sehat dan lucu, tidak terkecuali orang dengan HIV/AIDS (ODHA).
Namun mimpi indah tersebut kadang berubah menjadi mimpi buruk bagi ODHA. Mereka dihantui pertanyaan: bagaimana mungkin menumbuhkan kehidupan baru, bila kehidupan sendiri digerogoti virus yang melemahkan daya tahan tubuh?
Belum lagi stigma yang beredar di masyarakat tentang ODHA. Meski HIV/AIDS bukan isu baru di Indonesia. Kasus pertamanya sudah muncul sejak 1987, dan penanganan secara resmi oleh Pemerintah Indonesia sudah dimulai pada 1994.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sekalipun kasus HIV/AIDS masih dianggap 'mimpi buruk' oleh sebagian masyarakat, toh tidak menyurutkan semangat sebagian ODHA untuk terus menjalani kehidupan, termasuk memiliki keturunan, seperti Ayu dan Wahyu.
Kepada CNNIndonesia.com keduanya menceritakan tentang perjuangan, jatuh-bangun, mimpi, dan harapan mereka bersama pasangan masing-masing untuk mewujudkan satu mimpi manusiawi: menjadi orang tua.
Saat mengantarkan suami ke rumah sakit, suatu malam pada 2009, Ayu dihadapkan fakta mengejutkan: pria yang selama ini menjadi pendamping hidupnya ternyata mengidap AIDS.
Suami Ayu memang menderita sakit parah, pneumonia, meningitis dan hepatitis. Ia jatuh sakit sejak 2008 dan kondisinya terus memburuk hingga di usia 27 saat itu, bobotnya menyusut, tersisa 37 kilogram.
Sebelumnya, Ayu sudah mengetahui latar belakang sang suami yang pengguna napza suntik sejak 1999 hingga 2004. Namun Ayu sama sekali tidak tahu bahaya penggunaan jarum suntik bergantian, apalagi HIV/AIDS.
"Pada 2009, [situasinya] tidak seperti saat ini. Informasi HIV masih susah dicari dan didapat. Ke mana harus pergi? Risiko HIV saja sama sekali saya tidak tahu," kata perempuan yang mengaku bersih dari riwayat narkotika.
.
Ketika kondisi sang suami makin parah, Ayu pun harus tergopoh-gopoh membawanya dari satu rumah sakit ke rumah sakit lain di Jakarta. Saat itu, dokter belum tahu detail penyebab sakit yang diderita sang suami.
Hingga suatu kali, sebuah rumah sakit meminta Ayu dan suami untuk cek HIV. Dan saat itu pula, ia mengetahui dirinya dan suami sudah terinfeksi. Namun sang suami termasuk parah: sudah masuk fase AIDS.
Setelah sekian lama dibayangi beragam pertanyaan terkait sakit sang suami, akhirnya Ayu beroleh jawaban: HIV/AIDS. Namun, kondisi yang kadung parah membuat suami Ayu hanya bertahan beberapa hari.
Setelah teka-teki HIV terjawab, suami Ayu mengembuskan napas terakhir pada 2009.
"Reaksi saya sudah pasti kaget. Sebelum suami sakit, sudah pernah ada yang memberi tahu saya untuk cek karena ia tahu latar belakang suami, namun saya mengingkarinya. Saya pikir, HIV itu terkait masalah moral dan buruk," kata Ayu.
"Saya sedih dan malu, kenapa tidak mendengar waktu itu? Saya merasa sombong, sebagai istri akan baik-baik saja. Seribu satu pertanyaan akhirnya ini akan seperti apa. Saya kehilangan arah, saya mirip zombie kala itu."
Dukungan orang tua membuat Ayu bangkit, pada 2010. Ia pun mulai mengikuti berbagai aktivitas sosial termasuk bekerja. Namun cobaan lain harus dihadapi Ayu. Ia mendapat perlakuan diskriminatif di tempat bekerja sebagai guru musik.
Begitu mendengar kabar tentang suaminya, pihak sekolah musik meminta Ayu mengundurkan diri demi keamanan murid-murid. "Rasanya ingin lempar piano. Tapi saya pasrah dan tenang-tenang saja. Itu diskriminasi yang pertama," kata Ayu.
Perlakukan diskriminatif juga diperlihatkan oleh keluarga besar dan teman-teman. Ayu pun belajar membiasakan diri bila tak digubris saat kumpul keluarga besar. Teman-temannya pun satu per satu menjaga jarak.
Namun bukan kecil hati, ia bertekad membuktikan diri dapat menjadi orang lebih baik.
"Selama tujuh tahun saya HIV positif, saya berubah. Mulai dari fase jatuh, menerima kondisi diri, move on, dan kini semuanya welcome. Saya melihat diri saya positif sehingga orang lain akan melihatnya positif pula," kata Ayu.
Kini, hidup Ayu berganti ceria. Status HIV positif tak menutup pintu jodoh. Seorang pria HIV negatif menerima kondisi Ayu dan melamar pada 2014. Kini, keduanya tinggal di Bandung.
Ayu pun masih sehat dan rutin menjalani terapi anti-retroviral (ARV) untuk menekan jumlah virus dalam tubuhnya. Bahkan, jumlah CD4 atau sel darah putih Ayu disebut dokter 'mubazir'.
Saat berbincang dengan CNNIndonesia.com November lalu, Ayu tengah berbadan dua. Kandungannya berusia 12 pekan dan dalam kondisi sehat.
"Ini perjuangan sekali," komentar Ayu menanggapi kehamilannya dengan bahagia. "Suami saya negatif, dan saya butuh sesuatu yang netral biar tidak bicara tentang HIV terus," selorohnya.
"Hamil ini karena ada perencanaan. Mestinya bukan hanya perempuan dengan HIV yang butuh perencanaan hamil, semua perempuan harus. Bedanya, kalau dengan HIV perlu lebih banyak perhatian," kata Ayu.
Ayu dan sang suami, menjalani berbagai persiapan dan rangkaian program kehamilan. Mereka memang berencana memiliki anak antara 2016 hingga 2017.
Keduanya berkonsultasi kepada lebih dari satu dokter, mengikuti serangkaian prosedur dan terapi medis, pemeriksaan laboratorium, koordinasi dengan rumah sakit, hitung masa subur, hingga uji coba berhubungan tanpa kontrasepsi dengan segala risiko yang mungkin muncul.
Saat merencanakan kehamilan, Ayu dan suami harus memperhitungkan waktu yang paling tepat agar pembuahan efektif dan efisien.
Sebiasa mungkin Ayu menjaga diri agar tidak sakit. Ia pun memikirkan proses persalinan dan pemberian air susu ibu (ASI) serta berkonsultasi dengan dokter serta rumah sakit.
Ayu memilih untuk melahirkan secara caesar meski mampu secara normal. Menurut Ayu, ia ingin menurunkan risiko pendarahan dan tidak ingin menunggu lama untuk menurunkan risiko kepada bayi.
Meski banyak yang harus dipikirkan, Ayu bersyukur memiliki suami setia menemani semua proses kehidupan baru mereka. Keduanya saling bertukar pendapat dan menghadapi kondisi apa pun bersama-sama, termasuk saat Ayu terkena tumor payudara sebelum hamil.
"Yang jelas hamil bagi perempuan HIV bisa banget dan memungkinkan. Teman-teman saya 70 persen pasangannya negatif dan anak-anaknya sehat," kata Ayu.
"Kalau menganggap semua prosesnya repot, jadinya repot. Kalau sayang keluarga dan hidup, tidak terasa repot karena ikhlas," kata Ayu.
"Obat yang saya minum tidak ada selain ARV, paling hanya tambah vitamin karena saya juga harus menjaga nyawa lain di kandungan saya, sisanya semua sama seperti orang hamil biasa," lanjutnya.
Ayu bahkan sudah merencanakan apa yang akan ia katakan kepada anak-anaknya nanti saat sudah besar. Ia beranggapan bahwa kunci utama penerimaan anak-anak adalah para orang tua sadar mereka bukan pihak superior.
Ia juga berjanji akan menyediakan segala informasi yang dibutuhkan sang anak kelak dewasa, mulai dari reproduksi hingga HIV.
Dengan memahami tubuh, Ayu yakin si anak lebih menghargai dan menjaga diri sendiri. Termasuk Ayu yakin HIV dapat dijelaskan semudah memberi tahu penyakit lain.
Kini, Ayu mengisi kegiatan sehari-hari dengan menjadi penggiat sosial kampanye HIV/AIDS. Pengalaman menjadi pendamping sebaya ODHA sejak 2010, memberikan banyak motivasi bagi Ayu untuk kuat dan lebih semangat.
Menurut Ayu, ada banyak perubahan positif saat ini tentang HIV di Indonesia bila dibandingkan saat pertama kali dirinya menyandang status ODHA, meski masih banyak persoalan yang membutuhkan diskusi bersama berbagai lintas sektor dan pihak terkait.
"Ada memang kelompok yang memandang segala sesuatunya negatif. Namun kelompok yang lebih cerdas, lebih bijak, juga tumbuh makin banyak," kata Ayu.
"Kebanyakan ODHA yang saya kenal masih banyak menutup diri karena stigma tinggi dan berharap tidak ketahuan. Banyak yang lebih memilih berbohong karena agar dapat kehidupan yang aman," kata Ayu.
"Untuk para ODHA, jangan pernah merendahkan diri sendiri karena HIV. Semua bisa berkarya dan memberikan manfaat ke orang lain. Bagaimana orang ingin menghargai bila tidak bisa menghargai diri sendiri."
Berkebalikan dengan Ayu, Wahyu sudah menggunakan putau sejak SMA pada 1998 hingga akhirnya memutuskan berhenti pada 2005 lantaran jenuh.
Namun alih-alih datang ke dokter atau panti rehabilitisasi, ia memilih jalan sendiri menghentikan kecanduan napza dengan cara suntik tersebut.
Dengan segala daya upaya Wahyu menekan keinginan mengonsumsi putau. Ia bergabung dengan tim basket di kampusnya.
Ia juga tidak memberi tahu kedua orang tuanya tentang kondisinya. Bahkan saat sakau dan dibawa ke rumah sakit, dokter yang memeriksanya mengira ia hanya menderita maag.
Upayanya terbilang suskes. Wahyu berhenti dari kecanduan narkoba. Ia melanjutkan hidup dengan bekerja di sebuah perkebunan di Kalimantan. Dan pada masa itu lah, ia mendengar satu per satu kawan suntik saat masa lalu meninggal karena AIDS.
Suatu kali pada 2008, kondisi fisik Wahyu mendadak turun drastis. Ia mengeluarkan banyak darah dari tubuhnya hingga koma saat dibawa ke rumah sakit di Tanah Borneo. Dan saat itulah, rahasia Wahyu diketahui kedua orang tuanya.
"Saya menderita diare, toksoplasma, kanididiasis atau peradangan jamur di kulit, dan hepatitis C. Saya dirujuk untuk periksa HIV dan saat itu orang tua saya kaget mengetahui saya dahulu pengguna jarum suntik," kata Wahyu.
"Saya mau marah sama siapa? Saya sedih, namun saya tidak ingin terlihat oleh orang tua saya. Saya malu kepada mereka. Orang tua saya menangis, dan mau tidak mau saya berusaha tegar. Saat itu jadi titik balik saya mendekat kepada Tuhan," lanjut Wahyu.
Olahraga menjadi sarana Wahyu memotivasi diri sendiri untuk bangkit. Ia pun mulai mengikuti berbagai kegiatan sosial dibanding hanya berdiam diri di rumah. Namun seperti ODHA lainnya, diskriminasi pun dirasakan Wahyu, bahkan datang dari keluarga intinya sendiri.
"Saya tidak diperbolehkan dekat dengan keponakan, sedangkan saya sangat sayang kepada mereka. Piring dan peralatan saya dibedakan. Saya mau marah tidak bisa, bagaimana pun mereka keluarga saya," kata Wahyu.
Lambat laun, diskriminasi dalam keluarga menurun seiring Wahyu menemukan kegiatan positif lain seperti membantu ODHA lain. Dan pada masa-masa produktif itulah, jodoh Wahyu datang.
Wahyu bertemu dan berkenalan dengan seorang wanita yang juga sebagai aktivis HIV/AIDS. Status HIV positif yang disandang Wahyu tak menyurutkan penerimaan sang wanita yang berstatus HIV negatif. Lamaran Wahyu diterima dengan terbuka.
Seperti pasangan lain, Wahyu dan istri ingin memiliki keturunan. Dengan bantuan prosedur medis oleh tim dokter dan kepatuhan Wahyu menjaga kondisi kesehatan fisik dia dan sang istri, keduanya berhasil memiliki keturunan.
Wahyu dan istri kini telah memiliki dua anak. Dan kedua anak serta sang istrinya berstatus HIV negatif.
"Saya menikmati semua prosesnya saja, saya juga terbuka kepada dokter karena nyaman dan daripada saya hanya diam," kata Wahyu. "Alhamdulillah saat ini semua sehat. Saya ikuti prosedur yang ada, selalu cek HIV. Anak saya pun negatif, menurut saya bila ibunya negatif maka anaknya pasti negatif, yang penting itu."
Namun bukan berarti Wahyu dapat bernapas lega. Ia sadar suatu kali nanti kedua anaknya akan bertanya mengapa ia selalu minum obat tertentu secara rutin. Wahyu tahu, suatu kali nanti saat kedua anaknya sudah dapat berpikir dengan baik ia akan menceritakan semuanya.
"Termasuk penggunaan napza juga akan saya kasih tahu, juga soal berhubungan di luar nikah. Saya sebagai orang tua pasti ingin memberikan yang terbaik buat anak saya," kata Wahyu.
Kini, Wahyu masih tetap memberikan penyuluhan dan pendampingan kepada orang-orang berisiko atau sesama ODHA. Ia tahu belum semua masyarakat paham bagaimana menerima posisi ODHA di tengah-tengah mereka.
Namun menurut Wahyu, bersama para penggiat HIV/AIDS lain, ia ingin terus berusaha menurunkan angka diskriminasi, ketidakpahaman, stigma, angka kelahiran infeksi, dan infeksi baru hingga sekecil mungkin menyentuh titik nol.
"Saya alhamdulillah masih sehat," kata Wahyu. "Tes CD4 saya pun di atas 700, virus tidak terdeteksi. Yang ke-dua, saya tidak pakai narkoba lagi dan gaya hidup saya lebih sehat."