Jakarta, CNN Indonesia --
Kesukaan berbelanja sering kali dikaitkan dengan kaum wanita. Begitu pula, jika melihat barang-barang yang dijual di mal-mal.
Jessica Rachel (18) punya hobi menonton konser EDM yang bisa habiskan kocek jutaan rupiah. Selain menonton konser, Jessica juga hobi belanja daring. Baju adalah barang yang sering kalap dibeli Jessica di lapak-lapak online. Hanya setelah kuliah, keuangan Jessica tidak bisa sebebas dulu karena ada jatah uang saku yang diberikan orang tuanya untuk kebutuhan hidup dan biaya hobinya itu.
"Cukup tidak cukup, dikasihnya
segitu sama orang tua tiap bulan. Cukup atau tidak, saya harus bisa atur sendiri," kata mahasiswa jurusan manajemen perguruan tinggi swasta di Jakarta ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tak berbeda dengan Jessica, ada Irma Darmawangsa (32). Hobinya mengkoleksi batu akik yang harganya puluhan juta. Koleksinya itu sering ia kreasi ulang menjadi perhiasan. Entah itu cincin atau ornamen penghias kediamannya. Namun, Irma juga menjadikan hobinya itu sebagai bisnis dengan memperdagangkan sebagian koleksi perhiasan batu akiknya.
"Dari penjualan itu, saya bisa raih puluhan juta per bulannya," ungkap Irma kepada CNNIndonesia.com.
Jessica dan Irma, mungkin bisa menjadi representasi wanita muda milenial dengan berperilaku konsumtif tanpa kontrol yang kuat.
Di 2014, Tokopedia pernah merilis data yang menunjukkan 66.28 persen dari 5,3 juta barang yang terjual dibeli wanita. Dari presentasi tersebut, ada 46,33 persen pembeli wanita dengan umur 20 hingga 29 tahun. Sedangkan kebanyakan produk yang laku adalah perhiasan dan produk kecantikan atau kesehatan.
Psikolog Kasandra Putranto mengatakan perilaku belanja, yang menjadi dasar perilaku konsumtif, erat kaitannya dengan fungsi pengendalian impuls. Impuls disini bisa diartikan sebagai rangsangan yang berasal dari luar diri manusia.
Seseorang menjadi konsumtif jika kapasitas pengendalian impulsnya rendah, dan gangguan kendali impuls terkait dengan kadar dopamin dalam otak. Dopamine adalah hormon yang berfungsi mengontrol pusat kepuasan dan kesenangan di otak.
Mereka yang memiliki dopamine rendah, kerap mengalami kekurangan perasaan berharga dan senang. Akibatnya, mereka berusaha mencari perasaan senang itu dari hal-hal di luar dirinya. Antara lain terwujud dalam perilaku konsumtif.
"Tiap kali mereka menampilkan perilaku mengkonsumsi obyek tertentu, mereka merasakan getaran rasa nyaman yang membuat mereka ingin mengulangnya lagi dan lagi," ujar Kasandra kepada CNNIndonesia.com.
Lantas, benarkah wanita lekat dengan perilaku konsumtif?
Kasandra menolak anggapan itu. Baginya, perempuan dan laki-laki sama-sama punya kecenderungan konsumtif. Perbedaannya hanya pada barang yang dibeli. Wanita pada umumnya lebih tertarik pada busana dan kosmetik. Sedangkan laki-laki lebih tertarik pada barang elektronik dan peralatan olahraga.
 Perempuan dan laki-laki sama-sama punya kecenderungan konsumtif. Perbedaannya hanya pada barang yang dibeli. (Foto: Thinkstock/shironosov) |
Survei Shopback di tahun 2016 kepada 2.734 responden Indonesia menemukan bahwa pria berusia 19-30 yang juga masuk dalam kategori generasi milenial merupakan konsumen terbesar (53,4 persen) belanja daring. Konsumen wanita malah hanya 46,6 persen. Di negara lain dengan kebudayaan berbeda, para pria bahkan mengkonsumsi barang-barang tak jauh beda dengan kaum wanita. Sehingga perilaku konsumtifnya jadi serupa dengan wanita.
"Di Korea Selatan, misalnya. Konon para pria juga giat mengkonsumsi produk kosmetik demi kualitas penampilan yang lebih baik," kata Kasandra.
Itu sebabnya, tambah Kasandra, perilaku konsumtif tidak ada hubungannya dengan jenis kelamin. Perilaku konsumtif lebih tergantung pada daya beli. "Siapapun yang punya daya beli lebih tinggi, ia punya kesempatan lebih besar untuk berbelanja lebih banyak," ujar Kasandra.
Pada akhirnya, perilaku konsumtif tidak untuk wanita saja. Jessica Felicia (24), misalnya. Ia bisa menghabiskan dana hingga 3 juta rupiah untuk kosmetik dan perawatan wajah tetapi, ternyata itu tidak rutin. Perawatan wajah itu ia anggap sebagai kebutuhan, bukan hanya senang-senang saja.
"Perawatan juga saya lakukan untuk menunjang penampilan di pekerjaan, bukan karena hobi," seru karyawan pemasaran sebuah perusahaan asuransi swasta di Jakarta itu.
Demikian juga dengan Clarissa Lavenia (22). Mahasiswa jurusan Public Relations sebuah kampus swasta di Jakarta ini hobi memakai eye shadow untuk memperindah mata. Tetapi, ia tidak pernah memaksakan diri membeli barang itu jika kondisi tidak memungkinkan.
"Pemakaian tergantung kebutuhan. Dan kalau lagi tak punya uang, aku tidak pernah memaksakan diri beli eye shadow," kata wanita yang akrab disapa Veni itu.
(rah/sys)