Ada
fast (instan), ada pula
slow (berproses). Slow Fashion dihadirkan untuk melengkapi sekaligus memberikan alternatif bagi dunia fashion.
Aprina Murwanti, kurator pameran lainnya, menunjukkan bahwa dunia fashion bisa bergerak menuju industri yang lebih bertanggung jawab dan peduli terhadap lingkungan. Di Slow Fashion Lab, pengunjung bisa mengetahui jenis-jenis tanaman yang bisa digunakan untuk bahan pewarnaan kain. Misal daun jati, daun jambu biji dan kayu tingi.
"Banyak sumber daya hayati untuk pewarna, bisa daun atau biji. Campuran yang beda, warna yang dihasilkan beda," jelas Aprina.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penggunaan serat-serat alami sebagai material kain juga bisa jadi pilihan, misal serat dari nanas dan rami. Nyatanya, produksi kain dengan serat-serat ini menggunakan lebih sedikit air daripada kain dari bahan kapas.
Bila
fast fashion banyak menggunakan teknologi modern, teknik dalam produksi
slow fashion menggunakan teknik tradisional. Bahkan, slow fashion mengenal teknik ecoprinting, yakni motif kain dibuat dengan bakteri.
Selain soal material dan teknik, slow fashion mengedepankan soal kesinambungan produk. Barang-barang yang tidak terpakai, bisa dibuat ulang menjadi barang yang berguna. Pengunjung bisa melihat hasil-hasil karya komunitas produsen barang upcycle atau barang hasil pemanfaatan limbah. Misal Oja dengan produk clutch dengan bahan plastik hitam.
Lewat pameran ini, publik bisa sadar dengan apa yang mereka pakai, dan terutama asal muasal pakaian mereka. Aprina berkata konsumen perlu tahu label-label apa saja yang termasuk
blacklist dalam industri fashion.
"
Aware about you buy. Cek dari mana, karena beberapa label sudah masuk daftar hitam," kata Aprina.
(rah)