Pameran Fast Fashion: The Dark Side of Fashion membuat mata lebih terbuka akan dunia di balik glamornya fesyen.
Selain menyoal konsumerisme, pameran ini juga mencoba memberikan gambaran bagaimana sepotong pakaian, jeans misalnya, dari dibuat hingga kemudian sampai di tangan konsumen dan dikenakan.
Jika dibanding ponsel atau komputer, sepotong busana terlihat tidak kompleks. Kompleksitasnya justru ada pada proses produksinya. Sayangnya, produksi pakaian tidaklah transparan. Claudia menjelaskan, tipikal fast fashion adalah banyaknya sub supplier. Pakaian tidak diproduksi di satu tempat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebagai contoh, sepotong celana yang dibuat di Belanda. Sementara Uzbekistan menjadi tempat penanaman kapasnya. Kapas pun dipintal dan dijadikan kain di India. Pewarnaan dilakukan di Indonesia dan China. Bahan dijahit di Bangladesh, sedangkan sentuhan akhir atau sandblasting dilakukan di Turki. Celana jeans pun dijual di Jerman. Pada akhirnya, celana yang tidak terpakai dibawa ke Zambia, Afrika.
"Sepotong jeans bisa melalui perjalanan panjang, 40.000 kilometer, artinya, kerusakan lingkungan juga terjadi di banyak tempat," tambahnya.
Fashion dan ekonomi tidak lepas dari profit. Selama ini mungkin orang berpikir mereka membayar mahal untuk sepotong kaos karena bahan berkualitas atau mahalnya biaya distribusi. Semuanya salah. Kaos bisa mahal karena produsen menginginkan profit yang besar. Biaya lain meliputi transport, pajak, bahan tidaklah mahal. Lebih pahit lagi, cost terkecil adalah gaji pekerja.
"Menyedihkan, orang pikir makin mahal harga baju, makin tinggi gaji pekerja," ucapnya.
Sementara itu, lingkungan turut merasakan dampak negatif dari industri fast fashion. Air selain menjadi sumber kehidupan bagi manusia, juga menjadi penggerak utama dalam industri pakaian. Tanpanya, tidak akan ada pakaian yang dikenakan kini. Beberapa foto menunjukkan kondisi sungai di beberapa negara tercemar akibat buangan limbah air sisa pewarnaan kain.
Sungai Tullahan di Filipina memiliki air berwarna pink atau kadang warna lain tergantung dari limbah sisa pewarnaan kain dari pabrik tekstil di sekitar. Sungai di Zengcheng, China juga memiliki warna tidak biasa, warna biru jins. Faktanya, sebanyak 320 juta warga China sulit mengakses air bersih.
Air bersih banyak terbuang dalam industri pakaian. Cukup mengejutkan ketika 12 ribu liter air terbuang untuk satu kaos.
"Fashion tidaklah buruk, tapi produksinya yang massal bisa berdampak negatif. Penggunaan bahan kimia, bisa memicu alergi, kanker," tambah Claudia.
Slow Fashion, sebuah alternatif baca berikutnya ...