PESONA JAWA TENGAH

Sosok 'Profesor Tanpa Gelar' yang Dicari Peneliti di Sangiran

Elisa Valenta | CNN Indonesia
Minggu, 23 Apr 2017 14:12 WIB
Tak pernah mengecap pendidikan sejarah, tapi peneliti dari dalam dan luar negeri banyak yang mencari pria berkepala plontos itu.
Fosil Homo Erectus yang ditemukan di Sangiran. (CNN Indonesia/Elisa Valenta Sari)
Sangiran, Sragen, CNN Indonesia -- Usia Sutanto memang sudah tidak lagi muda. Namun jangan ragukan ingatannya dalam menyebutkan nama-nama fosil manusia dan hewan purba. Pria yang lahir pada 62 tahun silam ini bisa dibilang profesor tanpa gelar, yang paham betul mengenai Situs Manusia Purba Sangiran di Sragen, Jawa Tengah.

Sutanto merupakan salah satu dari sekian banyak penjaga di sana. Namun, ia yang paling senior.

Setiap hari, ada saja peneliti dari dalam dan luar negeri yang mencari pria berkepala plontos itu.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Jika dalam film ‘Night at the Museum’ karakter penjaga museum mengenakan kemeja dan celana bahan, Sutanto dengan santai membicarakan soal arkeologi, geologi maupun paleontologi, hanya dengan mengenakan kaus dan celana pendek. 

Agar padu padan semakin nyaman, ia juga lebih sering mengenakan sendal jepit.

Keinginan Sutanto untuk menjadi penjaga berawal setelah menemukan fosil manusia purba di pekarangan rumahnya.

Sutanto remaja langsung merasa kalau kampung kecilnya menyimpan sepenggal sejarah berharga, dari misteri peradaban manusia di dunia.

Ilmu mengenai kepurbaan tak pernah Sutanto dapatkan dari bangku sekolah, yang hanya mampu ia kecap sampai jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP).

Jangankan membeli buku sejarah, keluarganya yang hanya berprofesi sebagai petani pun terkadang bingung harus membeli makan dengan uang siapa.

"Saya tidak sekolah, saya hanya petani. Saya bisa seperti ini karena sejak kecil sudah ikut sama para doktor yang meneliti di sini," kata Sutanto sambil tersenyum ramah, saat ditemui oleh CNNIndonesia.com pada Kamis (20/4).

Situs Manusia Purba Sangiran Melahirkan Profesor Tanpa GelarSutanto, penjaga Museum Purba Sangiran. (CNN Indonesia/Elisa Valenta Sari)

Terletak 15 kilometer di sebelah utara pusat kota Solo, kemashyuran Sangiran telah bergema dan terekam dalam kitab-kitab ilmiah bangsa seberang.

Sutanto bercerita, Eugene Dubois, seorang ahli anatomi berkebangsaan Belanda, menjadi yang pertama kali melakukan eksplorasi di Sangiran pada 1893.

Jejaknya itu lalu diikuti oleh G.H.R von Koenigswald, ahli paleontologi asal Jerman, pada 1930.

Sangiran disebut para peneliti menyimpan sejarah sejak zaman Pliosen Akhir hingga akhir Plistosen Tengah, antara 2 juta hingga 200.000 tahun yang lalu.

Menurut hitungan peneliti, di lahan seluas 56 kilometer persegi itu telah ditemukan lebih dari 60 individu manusia purba, yang jumlahnya mencapai melebihi 50 persen dari seluruh penemuan di dunia.

Lapisan tanah tua di Sangiran, dikatakan Sutanto, juga disebut peneliti sebagai laboratorium alam yang sangat langka, karena menjadi salah satu pusat evolusi manusia di dunia.

Suka Duka Menjadi 'Profesor'

Tak hanya suka, ada pula duka yang dirasakan Sutanto saat harus memandu para peneliti yang datang. Salah satunya ialah saat memandu peneliti asal Jepang.

Sutanto remaja ketika itu diminta menemani sang peneliti untuk penggalian fosil gajah purba. Ia yang haus akan ilmu tak memedulikan soal bayaran, jadi ia pun tak dibayar.

Sudah tak dibayar, Sutanto malah mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan dari sang peneliti.

“Peneliti asal Jepang itu galak sekali. Saya disuruh memikul fosil gajah purba yang besar dan berat sambil berjalan kaki sejauh empat kilometer. Kalau fosilnya jatuh, saya dipukul,” kenang Sutanto sambil menerawang.

Tapi, Sutanto tidak kapok. Ia tetap senang jika ada peneliti yang datang ke desanya. Dengan begitu, ia bisa dengan bangga berganti profesi sejenak, dari petani ke profesor, walau tanpa gelar.

Yang membuat Sutanto merasa miris ialah lebih banyak peneliti dari luar negeri yang datang ke Sangiran daripada peneliti dari dalam negeri.

"Cuma satu yang ada di pikiran saya, kenapa orang asing jauh-jauh datang ke Sangiran, sementara orang lokal tidak tahu apa-apa? Padahal Sangiran itu pusat ilmu dunia,” kata Sutanto.

Keuletan Sutanto mempelajari ilmu kepurbaan membuatnya diboyong mengikuti diskusi dan seminar manusia purba, mulai dari yang berskala Depok sampai Filipina.

Di Universitas Indonesia, ia pernah menjadi narasumber untuk diskusi mengenai arkeologi. Sedangkan di Filipina, ia mengikuti seminar internasional.

Usai bercerita panjang lebar mengenai sejarah dan pengalamannya di Sangiran, CNNIndonesia.com iseng bertanya mengenai kemampuan berbahasa asing Sutanto, karena ia pasti sering berbincang dengan peneliti dari luar negeri.

“Sampai saat ini, bahasa Jawa saya masih lebih kental dibandingkan bahasa Inggris,” kata Sutanto sambil tergelak.

“Walau terkendala bahasa, tapi saya tetap berusaha menjelaskan kepada mereka, agar fosil-fosil ini bisa menjadi hasil penelitian yang berguna bagi generasi selanjutnya,” pungkas Sutanto.

(ard)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER