Jakarta, CNN Indonesia -- Belanja online makin digemari seiring dengan berbagai kemudahan dan pemanfaatan teknologi. Meski demikian, bisnis ritel dan restoran tak mau surut langkah dan yakin bahwa masyarakat Indonesia masih kerap ingin bertemu dan berkumpul alias kopi darat.
Ungkaian itu disampaikan Ellen Hidayat, Ketua Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) DPD DKI Jakarta yang juga menjabat sebagai Ketua Pelaksana Festival Jakarta Great Sale (FJGS) 2017, beberapa waktu lalu.
"Bisnis online memang memengaruhi yang offline, tapi kami merasa masih percaya diri untuk kelanjutan bisnis 'offline' ini," kata Ellen di sela-sela persiapan FJGS di Jakarta Selatan, Kamis (18/5).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ellen mengatakan kultur 'kopi darat' ala orang Indonesia jadi salah satu hal yang membuat pusat belanja offline masih bertahan.
Menurutnya, orang Indonesia hidup menjunjung tinggi nilai kerukuran dan "guyup" atau kebersamaan. Maka, sesuatu hal yang aneh jika suatu pertemuan hanya berlangsung lewat gadget, termasuk kegiatan jual beli.
Media sosial juga memainkan peranan. Unggahan foto bertema kuliner, lanjut Ellen, jadi kurang mantap jika dilakukan di rumah karena makanan dipesan melalui aplikasi tertentu.
"Orang masuk restoran, foto, lalu upload ke media sosial, tidak lupa juga selfie. Mesen makanan dari rumah, masa foto makanannya di rumah," ujarnya.
Selain itu, anak dengan usia tertentu yang belum diperbolehkan bermain gadget, tentu perlu wahana bermain. Pusat belanja pun jadi jawaban persoalan ini.
Belanja online tak memungkinkan calon pembeli mencoba busana sebelum membeli. Apalagi, menurut Ellen, standarisasi ukuran pakaian belum ada. Untuk satu label mungkin pas di badan, tapi tidak dengan label lain.
"Hal ini membuat orang harus datang, mencoba sehingga ukuran bisa pas," tambahnya.
Turunkan TargetMeski optimistis tetap akan diminati di antara riuh belanja online, Ellen mengatakan target raihan FJGS tahun ini justru diturunkan. Pada 2016, FJGS mematok target transaksi 8 persen di atas FJGS 2015. Namun, tahun ini FJGS menurunkan target menjadi 5 persen saja.
Hal itu, kata Ellen, untuk menyesuaikan daya beli masyarakat yang sedang 'lesu' selama dua tahun terakhir.
"Saya pikir daya beli masih ada, tapi mengalami pergeseran," ucapnya.
Jika dulu masyarakat banyak menghabiskan belanja untuk hal-hal berbau fashion atau kuliner, kini mereka menghabiskannya untuk hal-hal berbau entertainment atau hiburan, juga experince seperti melakukan perjalanan.
Hal ini terbukti dari ramainya travel fair yang diadakan di berbagai tempat. Senada dengan Ellen, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Retail Indonesia (Aprindo), Roy N. Mandey berkata FJGS bukan tidak sanggup mematok target lebih tinggi, tapi target yang dibuat mestinya serealistis mungkin.
"Bukan berarti nggak sanggup, tapi ini pencapaian realistis sesuai dengan perkembangan retail di Indonesia," kata Roy.
Sementara itu, Ellen menegaskan dalam gelaran FJGS tidak ada permainan harga. Selama ini mungkin masyarakat berpikir diskon diberikan pada pembeli setelah penjual menaikkan harga terlebh dahulu. Ia menjelaskan, hal ini tidak terjadi di gelaran yang memasuki tahun ke-9 penyelenggaraan ini.
"Dari retailer sendiri, mereka mungkin merasa produk harus keluar. Biasanya produk yang keluar adalah basic item seperti jeans atau t-shirt. Alasan lainnya, produksi terlalu banyak," jelasnya.
(rah)