Banyuwangi Kemas Jejak Tradisi Jadi Atraksi Wisata Menarik

Ardita Mustafa | CNN Indonesia
Minggu, 18 Jun 2017 19:33 WIB
Banyak sejarah yang sempat menjejak di Banyuwangi, mulai dari kerajaan Hindu sampai pasar tajil. Semuanya dikemas jadi atraksi wisata menarik.
Masjid Cheng Hoo di Banyuwangi. (CNNIndonesia/Adhi Wicaksono)
Banyuwangi, CNN Indonesia -- Berseberangan dengan Bali, tentu saja agama Hindu pernah menjejak di Banyuwangi. Hal tersebut terlihat dari sejumlah bangunan pura yang berada di beberapa kawasan yang dekat dengan perumahan warga. 

Agama Hindu datang di Banyuwangi pada 1259, saat itu Banyuwangi masih berada di dalam kekuasaan Kerajaan Hindu Blambangan yang dipimpin oleh Pangeran Tawang Alun. 

Kerajaan Hindu Blambangan disebut sebagai kerajaan Hindu terakhir di Pulau Jawa, sebelum akhirnya ditaklukan oleh VOC pada abad ke-18. Penguasaan itu tidak mudah, karena penduduk melakukan perlawanan selama dua abad. 

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Setelah Kerajaan Hindu Blambangan runtuh, VOC mengangkat R. Wiroguno I atau Mas Alit sebagai Bupati Banyuwangi pertama. 

Di bawah pemerintahannya, Mas Alit mendirikan Masjid Agung Baiturrahman pada 1773. Masjid dengan kapasitas 5.100 jamaah ini berada di kawasan Kepatihan, menyatu dengan Taman Sri Tanjung dan Pendopo Bupati. 

Ketiga tempat tersebut kini dijadikan objek wisata bersejarah oleh Pemerintah Banyuwangi. 

Tak hanya Masjid Agung Baiturrahman. Sejarah Islam juga menjejak di Banyuwangi dalam Masjid Muhammad Cheng Hoo.

Keberagaman Tradisi Jadi Atraksi Wisata di Banyuwangi Masjid Muhammad Cheng Hoo di Banyuwangi. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Berada di kawasan Sumberrejo, masjid ini juga memiliki pondok pesantren.

Sesuai namanya, seluruh bangunan yang ada di kompleknya bergaya Tiongkok. dari kejauhan, masjid ini tampak seperti kelenteng, dengan warna merah dan kuning yang mendominasi. 

Tentu saja banyak yang merasa heran dengan keberadaan nuansa tersebut. Karena belum banyak yang tahu, jauh sebelum berdirinya Kerajaan Hindu Blambangan penduduk Banyuwangi mengenal Islam dari ajaran yang dibawa oleh pedagang asal Timur Tengah dan juga China.

Penyebaran agama Islam oleh pedagang asal China tidak lepas dari aktivitas pelayaran Laksamana Cheng Ho, pelaut Muslim asal Yunan, China, yang melakukan penjelajahan antara 1405 sampai 1433. 

Keberagaman Tradisi Jadi Atraksi Wisata di Banyuwangi Suasana ruangan dalam Masjid Cheng Hoo di Banyuwangi. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Laksamana Cheng Ho merupakan orang kepercayaan Kaisar Ke-Tiga Dinasti Ming, Kaisar Yongle, untuk melakukan pelayaran guna memetakan wilayah yang sekiranya bisa dijadikan kekuasaan. 

Sepanjang hayatnya, Laksamana Cheng Ho telah melakukan tujuh kali pelayaran. Di Indonesia, ia sempat berlabuh di Jawa, Palembang dan Sumatera. 

Di sela kegiatannya, ia aktif menyebarkan ajaran Islam, meski sebagian besar awal kapalnya menganut agama Buddha dan Tao.

Walau baru diresmikan pada 2016, namun Masjid Muhammad Cheng Hoo merupakan satu dari sepuluh masjid di Indonesia yang dibangun oleh Persatuan lslam Tionghoa lndonesia sebagai penanda sejarah penyebaran Islam yang dilakukan oleh Laksamana Cheng Ho.

Keberagaman dari Desa Kemiren

Dengan jumlah penduduk sekitar 2,1 juta orang, Banyuwangi tidak hanya Hindu atau Islam, namun juga ada yang memeluk Protestan, Katolik dan agama lainnya. 

Keberagaman membuat kota yang dijuluki ‘Sunrise of Java’ ini selalu rukun.

Hal tersebut terlihat dari Desa Adat Kemiren, kawasan tempat tinggal suku asli Banyuwangi, Osing.

Keberagaman Tradisi Jadi Atraksi Wisata di Banyuwangi Warga Suku Osing di Desa Kemiren. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Suku Osing merupakan warga yang melakukan pelarian saat Kerajaan Majapahit runtuh pada 1743 masehi. 

Saat ini, mereka berjumlah 3.000 orang yang menempati Desa Kemiren di kawasan Glagah. Dipimpin oleh kepala desa, namun warga juga masih menuakan kepala adat. 

Bahasa Osing menjadi bahasa utama masyarakat Banyuwangi, selain bahasa Jawa dan Indonesia.

CNNIndonesia.com mengunjungi Desa Kemiren pada Selasa (6/6). Kami diterima langsung oleh Kepala Desa Lilik Yuliati dan Kepala Adat Suhaimi. 

“Warga di sini tak hanya memeluk agama Islam atau Hindu. Ada juga yang Kristen. Tapi, apapun agamanya, setiap ada ritual adat semua pasti berkumpul, seru sekali,” kata Lilik sambil tersenyum. 

Ada banyak ritual adat yang dilakukan oleh Suku Osing, yang paling menarik ialah Barong Ider Bumi dan Mepe Kasur. 

“Suku Osing memiliki banyak ritual, dari bayi lahir sampai orang meninggal dunia. Bahkan membeli mobil juga ada ritualnya, yaitu perhitungan tanggal yang tepat kapan mobil itu bisa dipakai agar tidak mendapat celaka di jalan. Ritualnya berupa doa bersama dan masak bubur merah dan putih,” ujar Suhaimi. 

Keberagaman Tradisi Jadi Atraksi Wisata di Banyuwangi Sekelompok warga Suku Osing di Desa Kemiren. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Barong Ider Bumi merupakan ritual mengarak patung barong di hari kedua Lebaran. Mirip dengan ritual Bhuta Yajna atau Pawai Ogoh Ogoh ala Hindu, ritual ini bertujuan untuk mengusir aura buruk. 

Uang receh yang dicampur beras kuning dan bunga dilempar ke arah barong yang diarak, atau yang disebut Sembur Othik Othik.

Setelah itu, warga berkumpul untuk melakukan Tumpeng Sewu. Sesuai namanya, ada ribuan tumpeng yang tersaji dan siap dicicipi. Pecel Pitik, pecel dengan lauk ayam kampung dibakar, menjadi menu wajibnya. 

Sedangkan Mepe Kasur dilakukan sehari sebelum Idul Adha. Seluruh warga akan mengeluarkan kasur dan menggebuknya di pinggir jalan, juga dengan maksud mengusir bala. 

“Anak muda sampai orang tua di sini masih melakukannya. Ritual yang dilakukan turun temurun,” ujar Suhaimi. 

“Saat Lebaran, Natal atau Nyepi, mereka melakukan kegiatan ibadahnya masing-masing dan yang tidak merayakan ikut menghormatinya,” lanjutnya.

Bersambung ke halaman berikutnya...

Ramadan untuk Semua

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER