Jakarta, CNN Indonesia -- Belum lama ini publik diramaikan dengan perundungan atau bully yang dialami Asa Firda Nihaya atau lebih dikenal dengan nama Afi Nihaya Faradisa. Pelajar sekolah menengah ini sempat dikagumi karena unggahannya di Facebook begitu menginspirasi.
Namun, tak lama berselang, netizen menemukan tulisan-tulisannya banyak mengutip karya orang lain. Setelah itu berbondong-bondong netizen mem-bully Afi dengan deretan komentar pedas.
Setelah Afi, secara beruntun kasus bully kembali muncul ke permukaan. Lagi-lagi, semua berkat media sosial. Dalam video nampak anak-anak SMP dan SD menjambak dan menyuruh korban bersujud di hadapan mereka. Kejadian pada Jumat (14/7) ini seakan membuat semua orang kebakaran jenggot, ada pula yang bereaksi, ada pula yang merasa prihatin.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Isu perundungan itu, semua orang bereaksi kalau ada kasus. Semua heboh dan seakan-akan masalah selesai dengan ngeluarin semua anak. Nanti tunggu saja kasus lagi, baru semua prihatin," ujar praktisi pendidikan Najelaa Shihab pada
CNNIndonesia.com usai peluncuran buku anak Kitu di kawasan Jakarta Selatan, Kamis (20/7).
Menurutnya, anak yang sehat secara sosial dan emosional tidak akan melakukan bully. Anak yang menekan orang lain, lanjutnya, adalah anak yang berada dalam tekanan. Najelaa menuturkan tekanan bisa berasal dari sistem, misalnya sistem sekolah dengan beban pelajaran yang berlebihan.
"Anak-anak itu korban. Korban dari sistem. Yang dibully korban, yang membully korban," katanya.
 Najelaa Shihab. (Foto: CNN Indonesia/Elise Dwi Ratnasari) |
Selain tekanan dari sistem sekolah, sebenarnya terdapat faktor lain yang turut ambil bagian, seperti lingkungan dan keluarga terutama orang tua. Namun, kata Najelaa, merupakan tugas orang dewasa di sekeliling anak untuk berkolaborasi menyelesaikan hal ini. Bukan berkolaborasi, justru yang terjadi sekarang semua saling menyalahkan.
"Saat saling menyalahkan yang paling disalahin siapa? Anaknya. Yang jadi korban siapa? Yang dikeluarin siapa? Anaknya," tegasnya.
Persoalan bully di Thamrin City memang berakhir dengan keluarnya anak-anak tersebut dari sekolah masing-masing. Mereka kini juga sudah berada di Panti Sosial Marsudi Putra Handayani di Bambu Apus, Jakarta Timur.
"Sekolah tenang-tenang aja tuh, orang tua tenang, pihak Thamrin City-nya juga seolah-olah bukan urusannya dia bahwa kejahatan kayak gitu terjadi," tutur Najelaa.
Najelaa menilai penyelesaian persoalan ini lebih seperti pemadam kebakaran. Ada kebakaran, siram air, api padam dan dianggap semuanya beres.
"Saya tidak melihat penanganan ini sistematis. Saya melihatnya pemadam kebakaran aja sih," tambahnya.
Menurutnya, jika akar permasalahan tak tertangani maka anak masih mungkin melakukan kekerasan dalam bentuk lain. Begitu pula dengan korban. Ia dapat menjadi korban untuk hal lain. Jangan sampai orang dewasa di sekitar anak hanya melihat korban dan pelaku saja. Mereka perlu melihat apa yang terjadi di sekolah, hubungan kakak kelas dan adik kelas dan sebagainya.
"Kebijakan sudah banyak, teori semua sudah tahu. Yang ada ya nggak menempatkan ini sebagai prioritas. Kekerasan terhadap anak tidak pernah jadi prioritas," ujarnya.
"Sedih tapi kenyataannya seperti itu."
(rah)