Kuala Lumpur, CNN Indonesia -- Tahun ini, penduduk Malaysia sedang bersuka cita. Pasalnya, mereka sedang menjadi tuan rumah SEA Games. Pesta olahraga terbesar se-Asia Tenggara yang ke-29 ini berpusat di ibukota Negeri Jiran, Kuala Lumpur (KL). Di kota inilah Malaysia memamerkan kemajuan zaman versi mereka.
Kota Taman Lampu--demikian julukan KL, memiliki luas wilayah 243 kilometer persegi dengan jumlah penduduk 31 juta jiwa.
Berdasarkan situs resmi Jabatan Penerangan Malaysia Wilayah Persekutuan Kuala Lumpur, kehidupan di KL dimulai pada pertengahan abad ke-19.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tidak ada yang tahu siapa sebetulnya yang menamakan kota tersebut 'kuala lumpur'. Akan tetapi, penduduk Malaysia percaya bahwa Raja Abdullah dari Kelang dan saudaranya, Raja Jumat dari Lukut, memiliki peranan besar dalam membesarkan kota ini.
Pada 1857, mereka bersama 87 pekerja China menjelajahi wilayah KL untuk menemukan biji timah. Usai melewati Sungai Gombak dan Kelang, mereka melintasi hutan dan menemukan biji timah di sekitar Ampang.
Penemuan tersebut membesarkan kota KL yang bergerak dari sektor penambangan timah, yang akhirnya memancing kehadiran investor dari luar negeri.
Melihat perkembangan KL yang pesat, Inggris yang sudah menjajah Malaysia sejak 1700-an kemudian memindahkan pusat administrasinya dari Kelang ke KL. Pemerintah Inggris terus mengembangkan KL dengan menjadikannya pusat kota modern dari masa ke masa.
Kota ini tak dibangun dalam semalam, karena kota ini beberapa kali sempat hancur akibat kebakaran dan perang sipil.
KL mulai menjadi kota yang maju terutama setelah Malaysia merdeka dari penjajahan Inggris pada 31 Agustus 1957, berlanjut ke awal abad ke-20, dan sampai sekarang.
[Gambas:Instagram]'Kuala' memiliki arti titik temu, karena lokasinya terletak di pertemuan Sungai Gombak dan Klang. Sedangkan 'lumpur' berarti tanah lunak yang berair. Namun, KL hari ini jauh dari kedua makna tersebut, suasananya malah lebih mirip kawasan SCBD di Jakarta.
Kemodernan KL bersaing ketat dengan dua negara tetangga terdekatnya, Singapura dan Indonesia. Jika bosan ke Singapura, penduduk Indonesia biasanya liburan singkat ke Malaysia. Dan sebaliknya.
Menara Kembar Petronas yang sempat menjadi bangunan tertinggi di dunia pada tahun 1998-2004 sebelum dilampaui Burj Khalifa di Dubai dan Taipei 101 di Taiwan, hingga kini masih menjadi simbol negara tempat lahirnya serial animasi anak lucu, 'Upin dan Ipin'.
[Gambas:Instagram]Di tengah kesibukan meliput ajang SEA Games 2017, saya menyempatkan diri untuk menjadi turis di KL.
Perjalanan wisata ini saya lakukan selama dua malam, karena harus berbagi waktu meliput pertandingan. Tapi sesungguhnya, perjalanan ini sangat bisa dilakukan dalam semalam.
25 Agustus 201712.13 - Tiba di Kuala Lumpur International Airport (KLIA)Dari Jakarta, terbang dengan pesawat ke Malaysia bukan hal yang sulit. Apalagi jika pesan tiket dari jauh hari, bisa mendapatkan harga sekitar Rp1 jutaan untuk tiket pulang dan pergi.
KLIA merupakan bandar udara yang sangat modern. Bandara ini terletak di perbatasan negara bagian Selangor dan Negeri Sembilan, berjarak kurang lebih 50 kilometer dari KL.
[Gambas:Instagram]Penduduk Malaysia berbahasa Melayu dan Inggris, tapi kebanyakan dari mereka berbahasa Inggris dengan logat Melayu. Jadi, tak perlu takut tersesat, cukup kuasai bahasa Inggris standar dan pasang telinga lebar-lebar saat mendengarkan petunjuk arah dari mereka.
Dari KLIA, saya langsung menuju Nu Sentral--salah satu pusat perbelanjaan di KL, untuk mencari santap siang khas Malaysia yakni Nasi Lemak.
13.17 - Perjalanan Menuju Nu SentralMata uang yang berlaku di Malaysia ialah Ringgit Malaysia (RM). Tukarlah mata uang yang dibawa di penukaran uang resmi di kawasan KLIA, karena belum banyak tempat yang menerima pembayaran dengan kartu.
Ada banyak pilihan transportasi dari KLIA ke Nu Sentral, mulai dari bus (Rp37 ribuan), transportasi online (Rp203 ribuan), atau kereta cepat (Rp172 ribuan).
Saya memilih menggunakan kereta cepat untuk ke Stasiun KL Sentral, karena jarak tempuhnya lebih singkat, sekitar setengah jam. KL Sentral adalah satu-satunya stasiun yang terhubung ke KLIA.
[Gambas:Instagram]Kereta cepat yang saya tumpangi cukup nyaman, walau tidak istimewa. Di perjalanan, tampak dari kejauhan Menara Kembar Petronas dan Menara KL berdiri tegak.
Saya tiba di Stasiun KL Sentral pukul 13.54, sebelum menuju Nu Sentral dengan sekitar empat menit berjalan kaki.
Setelah berkeliling sebentar di Nu Sentral, restoran Warisan menjadi pilihan saya. Berdasarkan informasi dari teman, di sana menjual Nasi Lemak yang lezatnya bukan main.
14.28 - Nasi Lemak, Roti Jala, dan Teh TarikRestoran Warisan terletak di lantai LG dan sudah buka sejak pukul sepuluh pagi. Tak berpikir panjang, saya langsung memesan tiga hidangan khas Malaysia: Nasi Lemak Ayam (Rp43 ribuan), Roti Jala Kari Biasa (Rp14 ribuan), Keropok Ikan (Rp5.000), dan Teh Tarik (Rp11 ribuan).
Semua menu yang saya pesan rasanya ada di Indonesia. Nasi Lemak tak jauh berbeda dengan Nasi Uduk, Keropok Ikan mirip dengan Kerupuk Udang, begitu juga dengan Roti Jala dan Teh Tarik. Bagi saya, yang paling membedakan hanya tingkat gurih dan rempahnya, di sini lebih terasa rempah ketimbang gurih.
[Gambas:Instagram]Setelah kenyang, saya bersiap memulai agenda liputan hari ini di hotel bintang lima kawasan Bukit Bintang, Hotel Royale Chulan. Di sana juga, saya dan Kontingen Atlet Indonesia menginap.
Searah perjalanan ke sana, saya mampir ke kawasan Sungei Wang untuk membeli oleh-oleh.
Tips untuk para turis: membeli oleh-oleh tidak mesti dilakukan di akhir perjalanan. Kalau di hari pertama sudah melewati pusat oleh-oleh yang khas, tak ada salahnya untuk belanja. Dengan begitu, Anda bisa lebih "perhitungan" dalam berbelanja oleh-oleh karena masih harus menyisakan uang sampai hari terakhir.
Dari Nu Sentral, saya mencoba menggunakan sarana transportasi Monorail (Rp6.500) untuk pergi ke Sungei Wang. Akan tetapi, sarana ini tidak senyaman kereta cepat. Tampaknya, ada harga ada pula kenyamanan.
Pengalaman di Sungei Wang berlanjut di halaman berikutnya...
16.29 - Sungei Wang
Nu Sentral dan Sungei Wang berjarak sepuluh menit dengan Monorail.
Jika Nu Sentral menjual produk luar negeri, maka di Sungei Wang lebih banyak yang menjual produk lokal. Bagi turis yang gemar belanja murah, Sungei Wang tempatnya.
 Ragam oleh-oleh yang dijual di Sungei Wang. (CNN Indonesia/Arby Rahmat) |
Sebagai contoh, kaos khas bertuliskan 'Kuala Lumpur' dijual seharga mulai dari Rp30 ribuan. Sedangkan cokelat khas bertuliskan yang sama dijual seharga mulai dari Rp70 ribuan.
Sudah puas berbelanja, saya menuju hotel yang disediakan untuk para media, Simms Boutique Hotel, menggunakan transportasi mobil online (Rp18 ribuan).
Hotel bintang dua tersebut terletak hanya 300 meter dari Hotel Royale Chulan, dan memiliki akses yang mudah dilalui pejalan kaki.
Kesibukan meliput di Hotel Royale Chulan membuat saya harus menunda sesaat lancong semalam di KL.
22.13 - Makan Malam di Jalan Alor
Enam jam liputan membuat perut kembali lapar. Di seberang Hotel Royale Chulan, tepatnya di Jalan Alor, ada pusat jajanan kaki lima yang akhirnya saya datangi.
Dari pagi sampai siang, Jalan Alor terbilang padat oleh kendaraan. Dari sore sampai malam, baru terlihat ratusan meja makan yang berjajar di bawah tenda.
[Gambas:Instagram]
Kebanyakan tempat makan menjual menu khas China atau Thailand. Yang membuat seru, mereka saling beradu harga, sehingga pilihan harga murah jadi lebih beragam.
Bagi yang pertama kali ke sini mungkin bingung memilih tempat makan yang akan disinggahi. Saran saya, pilih tempat makan yang ramai.
[Gambas:Instagram]
Pilihan saya jatuh pada Xin Ji Kitchen, yang selain ramai juga memiliki panggung musik kecil.
Sambal Kangkong Pedas (Rp50 ribuan), Daging Lada Hitam (Rp90 ribuan), nasi putih (Rp6.000), dan Teh Tarik (Rp9.000) menjadi makan malam saya. Rasa makannya cukup enak, mungkin karena dimasak dengan bumbu ala China.
Di seberang Xin Ji Kitchen ada kedai Fried Durian atau Durian Goreng, yang rasanya cocok sebagai makanan penutup.
[Gambas:Instagram]
Durian Goreng disajikan dalam balutan kulit lumpia, dicampur adonan tepung dan telur, lalu digoreng hingga berwarna keemasan.
Ukurannya kurang lebih seperempat dari ukuran roti tawar kotak dengan ketebalan satu ruas jari kelingking.
Ketika dilahap, rasakanlah sensasi saus durian yang lumer di dalam mulut. Tiga potong Durian Goreng dihargai Rp18 ribuan saja.
Hingga tengah malam, Jalan Alor masih ramai. Tapi saya memilih untuk pulang ke Simms Boutique Hotel untuk menyelesaikan tulisan dan mengistirahatkan badan.
26 Agustus 2017
09.25 - Sarapan di Royale Chulan
Menu sarapan di Hotel Royale Chulan tak jauh berbeda dengan hotel-hotel lainnya. Hanya saja kali ini terasa spesial, karena saya sarapan dengan Kontingen Atlet Indonesia.
Setelah sarapan, saya kembali menjalani agenda liputan yang dijadwalkan hingga makan siang.
14.13 - Menara Kembar Petronas
Makan siang tiba dan saatnya kembali mencuri waktu untuk berwisata!
Di tengah agenda yang semakin padat, saya memilih untuk mendatangi ikon Malaysia, Menara Kembar Petronas.
Berada di Jalan Ampang, saya menggunakan Light Rail Transit (Rp5.000) dari Stasiun KL Sentral.
 Menara Petronas dari jarak dekat. (CNN Indonesia/Arby Rahmat) |
Menara Kembar Petronas tetap membuat saya kagum, karena terlihat gagah dengan ketinggian 451 meter. Dari kejauhan, tampak juga KL Tower, yang sama-sama menyandang predikat menara tertinggi di Malaysia.
Puas menjadi turis, saya pulang ke Hotel Royale Chulan untuk kembali menjadi wartawan.
Di sepanjang perjalanan, saya terpikir untuk bisa kembali menjelajahi keunikan Malaysia dengan waktu yang lebih panjang, tentu saja dalam suasana liburan.