Mempertanyakan Keterbukaan dan Payung Hukum Cell Cure

Rahman Indra | CNN Indonesia
Sabtu, 23 Sep 2017 12:24 WIB
Terapi Cell Cure yang kini ada di RSPAD Gatot Soebroto disebut masih dalam tahap fase dua penelitian. Rumah sakit mestinya terbuka pada publik.
Terapi Cell Cure yang kini ada di RSPAD Gatot Soebroto disebut masih dalam tahap fase dua penelitian. Rumah sakit mestinya terbuka pada publik. (Foto: CNN Indonesia/DiahSaraswati)
Jakarta, CNN Indonesia -- Polemik seputar terapi Cell Cure yang kini ada di RSPAD Gatot Soebroto Jakarta masih terus bergulir.

Di satu sisi kehadiran terapi ini menjanjikan untuk pasien yang mengidap penyakit kanker, jantung dan lainnya. Namun, di sisi lain, ada hal yang mesti diungkapkan ke publik khususnya mengenai kejelasan akan pengobatan ini yang dinilai masih dalam tahap penelitian. 

Dokter Cosphiadi Irawan, Konsultan Hematologi Onkologi Medik (KHOM) mengungkapkan berbagai penelitian yang dikembangkan menunjukkan kalau terapi ini memang tampak menjanjikan. Terapi sel menjadi salah satu modalitas yang membantu sebagai komplementer, selain kemoterapi atau radiasi.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Dari beberapa data, diketahui terapi Cell Cure baru di fase dua. Pada fase berikutnya, terapi ini mesti membandingkan dengan standar yang sudah ada, menunjukkan superior dari sebelumnya, baru bisa jadi opsi baru yang kemudian ditawarkan ke masyarakat," ungkap dr Cosphiadi, saat dihubungi di Jakarta, pada Kamis (20/9).


Lebih jauh ia menambahkan, terapi ini menggunakan sel dendritik untuk menahan perkembangan sel tumor.

Memang ada CAR-T-Cell (Chimeric Antigene Receptor T-Lymphocyte Cell), yang baru saja mendapatkan persetujuan FDA pada 30 Agustus 2017 lalu, untuk digunakan pada pasien leukemia jenis ALL (Acute Lymphocytic Leukemia) usia anak–anak hingga 25 tahun, yang mengalami kekambuhan atau tidak mencapai remisi komplit setelah diterapi dengan protokol terapi standar. 

Namun, kata Cosphiadi, itu berbeda lagi. "Ini menandakan hanya satu dari beberapa jenis terapi sel yang disetujui," ujarnya.

Dokter Cosphiadi menuturkan dirinya sudah bicara dengan Kementerian Kesehatan akan posisi terapi Cell Cure ini. Di samping itu, kata dia, yang patut jadi perhatian adalah pasien yang mendapatkan terapi mestilah sudah jalani perawatan ilmiah, atau dalam artian terapi sel ini jadi tambahan pilihan.


Kata dia, hadirnya Cell Cure juga didasari akan banyaknya orang-orang Indonesia yang lari ke luar negeri jika ingin mendapatkan perawatan. Namun, mestinya ada payung hukum yang jelas. 

Cosphiadi sendiri menuturkan dirinya dulu pada 2007 pernah terlibat dalam hadirnya pengobatan dengan sel punca atau Stem Cell. Saat itu masih dalam bingkai penelitian, baru pada tujuh tahun kemudian, pada 2014 ada payung hukum atau regulasinya.

Sementara, terapi sel dalam bingkai penelitian merupakan tindakan komplementer, bukan berarti berdiri sendiri. 

Ia mengatakan, RSPAD sebagai pihak rumah sakit juga mestinya memegang teguh kaidah ilmiah dan etika penelitian. Lebih jauh ia menganjurkan untuk mengajukannya pada komite etik, agar memperoleh payung secara etik bahwa sudah diuji. 

Mengawal untuk melindungi publik sebagai pasien, Cosphiadi mengatakan pihaknya telah berupaya 'mengundang' dr Nyoto dari RSPAD Gatot Soebroto untuk terbuka secara kelimuan.

"Posisinya memang dilematis, tapi mesti dijelaskan ke pasien agar nanti mereka tidak ekspektasi berlebihan," ujarnya menyarankan.


Payung hukum

Senada dengan dr Cosphiadi, Inez Nimpuno MPS MA, dokter yang juga pengamat kesehatan masyarakat mengungkapkan sesuatu yang masih dalam rangka uji coba, etikanya, pasien tidak dibebani biaya terapi. Jadi kalau pelayanannya sudah berbayar, asumsinya, layanannya sudah memiliki bukti ilmiah medis.

"Yang bisa diminta untuk diumumkan ke publik adalah terapi sel berlisensi apa saja, dan untuk kanker tipe atau subtipe apa saja yang ditawarkan, ini penting," ujarnya.

Contohnya, kalau saja pihak penyedia layanan terapi sel mengumumkan bahwa tersedia terapi ALL tipe tertentu dengan Kymriah dan terapi kanker prostat tipe tertentu dengan Provenge, barulah jelas bahwa pihak penyedia layanan terapi sel menyediakan dua terapi sel kanker yang sudah berbasis EBM melalui lisensi dari FDA.

Namun, ada satu masalah lagi yang perlu dipertimbangkan. FDA adalah lembaga di Amerika, yang tentu saja cara kerja dan keputusan lembaga ini bisa dijadikan patokan bahwa lisensi FDA asumsinya berbasis EBM.

Masalahnya, untuk benar-benar bisa di pasarkan di Indonesia, sebuah terapi baru juga harus memenuhi kriteria yang disahkan oleh negara di mana terapi baru tersebut dipasarkan. Menurut Inez, ada dasar hukum untuk setiap layanan terapi.


Inilah yang kerap disebut sebagai kerangka peraturan, peraturan yang dibuat pemerintah untuk menfasilitasi perlindungan terhadap penyedia pelayanan terapi dan juga konsumen (pasien).

Contohnya, untuk layanan terapi sel punca (stem cell), dasar hukumnya adalah Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 833/Menkes/PER/IX/2009, yang mengatur penyelenggaraan layanan sel punca.

"Karena prinsip dasar dari terapi sel yang diumumkan RSPAD berbeda dengan terapi sel punca, maka Permenkes yang ada tidak bisa dijadikan dasar hukum untuk penyelenggaraan terapi sel yang berbasis imunoterapi ini, sehingga perlu dipikirkan dibentuknya sebuah PerMenkes yang baru," tambah Dokter yang bekerja di Kementerian Kesehatan Negara Bagian Australian Capital Territory ini.

Dalam hal boleh tidaknya dipasarkan, Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) berperan besar. BPOM setara dengan FDA, dan semua terapi yang dipasarkan di Indonesia perlu ijin dan terdaftar oleh BPOM.

Ini artinya, terapi sel berbasis imunoterapi untuk kanker dengan Kymriah dan Provenge, bisa di pasarkan di Indonesia sesudah semua persyaratan dalam kerangka peraturan pemerintah yang ada sudah terpenuhi.



(rah/asa)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER