13.30 WIB - Mencoba Bertandang ke KalijodoPukul 13.30 saya sudah duduk manis lagi, tapi kali ini di tingkat atas bus. Penumpang begitu ramai, semua kursi penuh kecuali kursi di sebelah saya. Tak lama, seorang turis asal Jerman mengisi kursi. Ia mengenalkan diri, Timo Storz. Kami pun jadi teman ngobrol dalam perjalanan.
"Ini bus untuk wisata dan gratis, gila!" kata Timo dengan muka penuh kegembiraan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Timo bercerita bahwa ini kali kedua kunjungannya ke Indonesia. Sembilan tahun yang lalu ia sempat datang ke Bali, tapi bersama keluarganya.
 Suasana tingkat atas Bus Wisata. (CNN Indonesia/Elise Dwi Ratnasari) |
Saat ini ia berkuliah di Singapura, jadi Jakarta jadi pilihannya untuk berwisata di akhir pekan. "Saya ke sini ingin bertemu, berinteraksi dengan warga lokal. Merasakan budaya mereka, bagaimana mereka hidup," kata Timo sambil tersenyum.
“Tapi di sini sangat panas ya bahkan lebih panas dari Singapura,” lanjutnya tertawa.
Kawan baru saya ini berencana berkeliling sekitar Monas, menghabiskan waktu di Grand Indonesia kemudian kembali ke hotelnya.
Dari di Halte BNI 46, kami berpisah di Halte Juanda/Istiqlal, karena saya ingin ke menjajal bus BW 5 dengan rute ke Taman Kalijodo. Petugas TransJakarta berkata saya harus transit di Halte Balai Kota.
Pukul 15.45 akhirnya bus BW 5 tiba. Namun saya urung ke sana. Pasalnya bus hanya mengantar saja, dan tak akan ada bus yang membawa turis kembali ke titik awal keberangkatan.
15.10 WIB - Keliling Bundaran HIAkhirnya, saya memutuskan untuk mencoba bus BW 2 bertema ‘Jakarta Baru’ dengan rute Bundaran Hotel Indonesia (HI).
Jika ‘Sejarah Jakarta’ menyuguhkan Jakarta versi lawas, bus ‘Jakarta Baru’ akan membawa turis mengintip Jakarta versi baru, lengkap dengan kemacetan tentunya.
Bagian yang menarik dari perjalanan ini adalah bus membawa kami mengelilingi Bundaran HI. Sayangnya, jendela bus tak sebening bus-bus sebelumnya. Entah, mungkin tertutup stiker.
 Patung Selamat Datang di Bundaran Hotel Indonesia. (CNN Indonesia/Safir Makki) |
Turis bisa meminta turun di Halte Plaza Indonesia dan cuci mata di pusat perbelanjaan tersebut. Saya memilih kembali ke titik awal, Halte Masjid Istiqlal.
16.30 WIB - Berakhir di SarinahSaya berharap bisa mencoba bus BW 4 bertema ‘Pencakar Langit Jakarta’. Sayangnya harapan saya kembali pupus. Pukul 16.30, bus tersebut sudah selesai beroperasi. Yang tersisa hanya bus menuju Sarinah, tapi tak melayani pengantaran ke titik semula.
17.30 WIB - Berburu MartabakSaya masih ingat saran Emong, bahwa ada martabak yang tersohor di kawasan kuliner Pecenongan. Namun masih terlalu 'pagi' untuk ke tempat yang biasa ramai di malam hari. Saya memutuskan untuk sekadar berjalan-jalan dulu di sekitar Pasar Baru. Ojek melaju membawa saya ke sana.
Mungkin ini mirip dengan wisata sejarah. Ada bangunan-bangunan toko dengan angka tahun sebelum 1990-an. Wajar saja, Pasar Baru merupakan pusat perbelanjaan tertua di Jakarta yang berdiri pada 1820.
Berjalan kaki dari Pasar Baru ke kawasan kuliner Pecenongan rupanya lumayan menguras tenaga. Tak apa, demi martabak yang membuat saya penasaran.
Kiri kanan jalan sudah mulai berdiri tenda-tenda pedagang kaki lima. Kebanyakan chinese food. Bagi Anda yang menginginkan makanan halal, cukup cermati tulisan halal di tenda itu. Lumayan jarang tenda dengan tulisan ini. Kebanyakan memang menyediakan makanan non halal.
Akhirnya saya menemukan martabak dengan petunjuk angka "6". Ternyata Martabak 65a. Antrean lumayan panjang. Saya harus bersaing dengan pembeli yang datang duluan serta deretan ojek online.
 Kedai Kopi Trip di kawasan Pecenongan. (CNN Indonesia/Elise Dwi Ratnasari) |
Dengan tawaran harga yang 'lumayan', konsumen akan disuguhi pilihan topping martabak yang beragam beragam antara lain, Nutella, cokelat Toblerone, Ovomaltine, Skippy, KitKat juga kismis. Sangat menggiurkan.
Martabak kismis keju seharga Rp115 ribu akhirnya menemani saya menghabiskan malam di salah satu kedai kopi. Mungkin tak ada kedai kopi lain sepanjang jalan ini selain Kopi Trip. Kedai tampak menonjol dengan mobil VW Combi bak film ‘Filosofi Kopi’.
Semakin malam, jalanan semakin padat. Penat lepas berkat manisnya martabak beradu dengan pahitnya kopi. Selamat malam Jakarta!
(ard)