Jakarta, CNN Indonesia -- Berkeliling Jakarta gratis? Siapa mampu menolak tawaran ini, termasuk saya. Beberapa bulan yang lalu, Pemda DKI Jakarta bersama PT TransJakarta meluncurkan Bus Wisata dengan model
double decker (tingkat) untuk melayani turis yang ingin berkeliling Jakarta tanpa kepanasan.
Tak seperti naik bus TransJakarta reguler, Bus Wisata melaju perlahan, memberikan kesempatan turis untuk menikmati pemandangan kota Jakarta melalui jendelanya yang besar.
Bus beroperasi pada Senin-Jumat mulai pukul 10.00 WIB dan berakhir pukul 18.00 WIB. Ada yang sampai pukul 23.00 WIB, namun hanya saat akhir pekan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Terdapat enam rute, yakni BW 1 (Sejarah Jakarta), BW 2 (Jakarta Baru), BW 3 (Seni dan Kuliner), BW 4 (Pencakar Langit Jakarta), BW 5 (Ruang Terbuka Jakarta) dan BW 6 (Cagar Budaya). Rute BW 3 dan BW 6 hanya beroperasi pada akhir pekan.
Karena berkeliling pada hari Jumat, maka saya hanya bisa menjajal empat rute.
10.24 WIB - Semua Bermula dari IstiqlalTitik memulai perjalanan dengan Bus Wisata adalah dari Halte Masjid Istiqlal. Dari kejauhan, bus-bus sudah mengantre menunggu ditumpangi turis.
Saya naik BW 1 dengan tujuan Kota Tua. Pemandu wisata yang ikut dalam perjalanan, Alif Yassin, berkata bus akan berhenti di halte-halte tujuan wisata sejarah.
Bus Wisata terasa lengang karena mungkin masih hari kerja. Tak hanya turis dalam negeri, ada juga beberapa turis asing yang ikut menumpang. Saya menyapa Etsuo, turis asal Jepang yang mengaku baru pertama kali berkunjung ke Indonesia, tepatnya Jakarta.
"Di sini memang macet, seperti kata kawan saya. Dia pernah ke sini dan katanya ogah ke sini lagi karena sangat macet," kata Etsuo sambil tersenyum. Ia pun turun di Halte Monumen Nasional (Monas) , karena ingin melihat-lihat Museum Nasional. Bus lalu kembali melaju.
Mengetahui ada wartawan yang ikut menumpang, dengan ramah sang supir bus memanggil saya, mengajak mengobrol.
Emi Suhartati, atau akrab disapa Emong, adalah perempuan di balik kemudi bus berukuran besar ini. Ia sudah 13 tahun menjadi supir bus TransJakarta. Begitu diminta mengemudikan Bus Wisata, ia merasa bisa lebih santai.
Emi Suhartati, supir Bus Wisata TransJakarta. (CNN Indonesia/Elise Dwi Ratnasari) |
"Kalau TransJakarta biasa itu
kan mengutamakan waktu, kalau ini bisa dibilang buang-buang waktu. Lebih asyik, lebih santai jadinya," ujar Emong sambil tertawa.
Jelas bus melaju santai. Sesuai peraturannya, bus hanya dibolehkan melaju sekitar 20 sampai 30 kilometer per jam. Kecepatan yang memang pas untuk menikmati pemandangan sekeliling.
Menjadi supir Bus Wisata juga membuat Emong jadi sedikit mahir berbahasa Inggris. Ia mempelajarinya dari percakapan singkat dengan turis asing yang menumpang.
Menurut Emong, interaksi dengan penumpang jelas lebih sering dirasakannya di Bus Wisata.
"Saya kadang inisiatif saja menjelaskan ke turis mengenai tempat-tempat wisata yang bisa mereka kunjungi di Indonesia. Kita kalau di negara orang juga kalau ada yang
jelasin kan seneng. Untuk apa jauh-jauh ke sini kalau
nggak tahu mau ke mana," kata Emong.
Jika Emong tak punya kewajiban untuk menjelaskan pemandangan, Alif sebaliknya. Tugasnya paling sibuk saat akhir pekan, di mana bus akan sangat padat oleh turis.
“Sabtu dan Minggu ramai penumpang. Kalau hari biasa malah banyak yang hanya numpang tidur,” kata Alif.
Tak terasa Bus Wisata yang saya tumpangi hampir tiba di Kota Tua. Emong merekomendasikan untuk makan siang di Soto Gerobak depan Gedung BNI 46 dan jajan di kawasan Pecenongan.
"Kulineran ya di Pecenongan. Ada itu martabak enak, namanya saya lupa, pokoknya ada angka enamnya," ujar Emong dengan nada keibuan sambil melambaikan tangan kepada saya.
12.00 WIB - Semangkuk Soto Tangkar dan Es PotongTurun dari bus di Halte BNI 46, saya langsung mencari soto sesuai petunjuk Emong. Rupanya soto yang dimaksud adalah Soto Tangkar khas Bogor. Gerobak penjual tampak ramai dikerumuni pelanggan, mungkin semuanya disarankan Emong untuk datang ke sini.
Tak seperti soto yang biasanya menggunakan daging ayam atau sapi, Soto Tangkar menggunakan bagian tubuh sapi di luar dagingnya, seperti paru, kikil atau kulit, tulang muda dan babat atau perut.
 Penampakan Soto Tangkar yang dicicipi. (CNN Indonesia/Elise Dwi Ratnasari) |
Selain itu, juga terdapat potongan kentang, daun bawang serta bawang goreng plus guyuran kuah santan. Mantap!
Semangkuk soto dan nasi hangat seharga Rp 15 ribu cukup mengembalikan tenaga saya. Rasanya ingin segera bergegas ke kawasan museum, tapi terik matahari memang tak tertahankan.
Gerobak Es Potong di seberang gerobak seakan melambai. Sepotong es rasa cokelat pun saya santap. Murah meriah, hanya Rp4 ribu.
12.30 WIB - Museum Fatahillah 'Plus-Plus'Tak lebih dari 200 meter saya berjalan, pemandangan meriam peninggalan Belanda sudah tampak. Suasana begitu lengang. Barisan sepeda dan setumpuk topi seakan bersabar menunggu disewa turis yang datang.
Harga sewanya tak begitu mahal, hanya Rp20 ribu per setengah jam. Tapi masih begitu terik kalau mau bersepeda. Saya memilih mengintip Museum Sejarah Jakarta atau biasa disebut Museum Fatahillah dengan tiket masuk seharga Rp5.000.
Museum yang dulu digunakan sebagai gedung Balai Kota zaman kompeni ini masih terawat dengan baik. Dekorasi dan interior kayunya masih terlihat apik.
 Turis asyik berkeliling di Museum Fatahillah. (CNN Indonesia/Andry Novelino) |
Bagian yang paling menarik dari bangunan ini ialah penjara bagi mereka yang menunggu putusan hakim. Setidaknya, ada dua pejuang Indonesia yang pernah menyicipi penjara ini, yakni Untung Suropati dan Pangeran Diponegoro.
Sel penjara tak terlalu besar, ditambah bola semen berbagai ukuran yang semakin membuat sesak ruangan. Bola-bola berat ini diikatkan pada tahanan agar tidak kabur. Penderitaan para tahanan langsung terasa di pikiran saya.
 Es Selendang Mayang. (Midori via Wikimedia Commons (CC-BY-3.0)) |
Bagian belakang museum terdapat beberapa bangku untuk sekadar bersantai atau beristirahat. Pohon besar menaungi sehingga suasana terasa semakin teduh.
Terlihat ada penjual Es Selendang Mayang dan Kerak Telor. Wisata ke sini memang jadi jawaban untuk wawasan dan perut.
Es Selendang Mayang seharga Rp8.000 dan Kerak Telor seharga Rp20 ribu sukses menyelamatkan saya dari hawa panas.
13.30 WIB - Mencoba Bertandang ke KalijodoPukul 13.30 saya sudah duduk manis lagi, tapi kali ini di tingkat atas bus. Penumpang begitu ramai, semua kursi penuh kecuali kursi di sebelah saya. Tak lama, seorang turis asal Jerman mengisi kursi. Ia mengenalkan diri, Timo Storz. Kami pun jadi teman ngobrol dalam perjalanan.
"Ini bus untuk wisata dan gratis, gila!" kata Timo dengan muka penuh kegembiraan.
Timo bercerita bahwa ini kali kedua kunjungannya ke Indonesia. Sembilan tahun yang lalu ia sempat datang ke Bali, tapi bersama keluarganya.
 Suasana tingkat atas Bus Wisata. (CNN Indonesia/Elise Dwi Ratnasari) |
Saat ini ia berkuliah di Singapura, jadi Jakarta jadi pilihannya untuk berwisata di akhir pekan. "Saya ke sini ingin bertemu, berinteraksi dengan warga lokal. Merasakan budaya mereka, bagaimana mereka hidup," kata Timo sambil tersenyum.
“Tapi di sini sangat panas ya bahkan lebih panas dari Singapura,” lanjutnya tertawa.
Kawan baru saya ini berencana berkeliling sekitar Monas, menghabiskan waktu di Grand Indonesia kemudian kembali ke hotelnya.
Dari di Halte BNI 46, kami berpisah di Halte Juanda/Istiqlal, karena saya ingin ke menjajal bus BW 5 dengan rute ke Taman Kalijodo. Petugas TransJakarta berkata saya harus transit di Halte Balai Kota.
Pukul 15.45 akhirnya bus BW 5 tiba. Namun saya urung ke sana. Pasalnya bus hanya mengantar saja, dan tak akan ada bus yang membawa turis kembali ke titik awal keberangkatan.
15.10 WIB - Keliling Bundaran HIAkhirnya, saya memutuskan untuk mencoba bus BW 2 bertema ‘Jakarta Baru’ dengan rute Bundaran Hotel Indonesia (HI).
Jika ‘Sejarah Jakarta’ menyuguhkan Jakarta versi lawas, bus ‘Jakarta Baru’ akan membawa turis mengintip Jakarta versi baru, lengkap dengan kemacetan tentunya.
Bagian yang menarik dari perjalanan ini adalah bus membawa kami mengelilingi Bundaran HI. Sayangnya, jendela bus tak sebening bus-bus sebelumnya. Entah, mungkin tertutup stiker.
 Patung Selamat Datang di Bundaran Hotel Indonesia. (CNN Indonesia/Safir Makki) |
Turis bisa meminta turun di Halte Plaza Indonesia dan cuci mata di pusat perbelanjaan tersebut. Saya memilih kembali ke titik awal, Halte Masjid Istiqlal.
16.30 WIB - Berakhir di SarinahSaya berharap bisa mencoba bus BW 4 bertema ‘Pencakar Langit Jakarta’. Sayangnya harapan saya kembali pupus. Pukul 16.30, bus tersebut sudah selesai beroperasi. Yang tersisa hanya bus menuju Sarinah, tapi tak melayani pengantaran ke titik semula.
17.30 WIB - Berburu MartabakSaya masih ingat saran Emong, bahwa ada martabak yang tersohor di kawasan kuliner Pecenongan. Namun masih terlalu 'pagi' untuk ke tempat yang biasa ramai di malam hari. Saya memutuskan untuk sekadar berjalan-jalan dulu di sekitar Pasar Baru. Ojek melaju membawa saya ke sana.
Mungkin ini mirip dengan wisata sejarah. Ada bangunan-bangunan toko dengan angka tahun sebelum 1990-an. Wajar saja, Pasar Baru merupakan pusat perbelanjaan tertua di Jakarta yang berdiri pada 1820.
Berjalan kaki dari Pasar Baru ke kawasan kuliner Pecenongan rupanya lumayan menguras tenaga. Tak apa, demi martabak yang membuat saya penasaran.
Kiri kanan jalan sudah mulai berdiri tenda-tenda pedagang kaki lima. Kebanyakan chinese food. Bagi Anda yang menginginkan makanan halal, cukup cermati tulisan halal di tenda itu. Lumayan jarang tenda dengan tulisan ini. Kebanyakan memang menyediakan makanan non halal.
Akhirnya saya menemukan martabak dengan petunjuk angka "6". Ternyata Martabak 65a. Antrean lumayan panjang. Saya harus bersaing dengan pembeli yang datang duluan serta deretan ojek online.
 Kedai Kopi Trip di kawasan Pecenongan. (CNN Indonesia/Elise Dwi Ratnasari) |
Dengan tawaran harga yang 'lumayan', konsumen akan disuguhi pilihan topping martabak yang beragam beragam antara lain, Nutella, cokelat Toblerone, Ovomaltine, Skippy, KitKat juga kismis. Sangat menggiurkan.
Martabak kismis keju seharga Rp115 ribu akhirnya menemani saya menghabiskan malam di salah satu kedai kopi. Mungkin tak ada kedai kopi lain sepanjang jalan ini selain Kopi Trip. Kedai tampak menonjol dengan mobil VW Combi bak film ‘Filosofi Kopi’.
Semakin malam, jalanan semakin padat. Penat lepas berkat manisnya martabak beradu dengan pahitnya kopi. Selamat malam Jakarta!