Manila, CNN Indonesia -- Hal yang saya rasakan saat pertama kali menginjakkan kaki di Manila adalah kotanya yang mirip sekali dengan Jakarta, hanya saja lebih ‘jadul’. Jika ingin lebih spesifik lagi, Manila mirip Jakarta sekitar tahun 2007 ke belakang.
Ketika menyapu pandangan untuk pertama kali, saya melihat banyak proyek pembangunan berlangsung di setiap sudut kotanya. Pemerintah Filipina di bawah pimpinan Presiden Rodrigo Duterte sepertinya ingin menjadikan Manila sebagai kota metropolitan, lengkap dengan hutan betonnya.
Seharian di Manila tidak 100 persen membuat saya rindu dengan Jakarta, karena yang saya lihat dan rasakan persis Jakarta. Rupa dan karakter penduduk lokalnya tak jauh berbeda. Yang paling membedakan hanyalah sebagian besar penduduk Manila lebih fasih berbahasa Inggris.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Akhir pekan kemarin saya mendapat kesempatan untuk berkunjung ke Manila, atas undangan dari maskapai penerbangan AirAsia.
Penerbangan dari Jakarta ke Manila membutuhkan waktu sekitar empat setengah jam, sudah termasuk transit di Malaysia sekitar dua jam.
Di Manila, pesawat yang saya tumpangi mendarat di Bandara Internasional Ninoy Aquino. Langit terlihat mendung, karena negara dua musim sedang dilanda musim hujan, tepatnya sepanjang bulan Mei sampai November.
Sebelum melangkahkan kaki ke luar bandara, saya menukarkan sebagian mata uang Rupiah yang saya bawa ke mata uang Filipina, Peso. Saya memutuskan untuk tidak menukarkan seluruh uang, karena banyak tempat di Manila yang sudah menerima pembayaran dalam bentuk kartu kredit atau debit.
 Pemandangan kota Manila. (CNN Indonesia/Tiara Sutari) |
Dari bandara, ada banyak akses transportasi umum menuju pusat kota. Pilihannya kereta, bus, taksi, mobil sewa, atau taksi online.
Begitu juga dengan pilihan tempat penginapan, jaringan hostel sampai hotel bintang lima banyak tersedia. Saya menginap di Hotel 101, yang berada di dalam komplek Mall of Asia, Pasay City. Strategis dan terjangkau, menjadi alasan saya memilih untuk menginap di sana.
Di sela waktu liputan bersama AirAsia, saya menyempatkan diri untuk berwisata di Manila. Berikut ini ialah pengalaman saya selama berada di sana:
09.00-12.00 - Keliling IntramurosKoloni Spanyol pernah berkuasa di Filipina. Bangunan tua yang sempat mereka bangun saat ini menjadi objek wisata sejarah yang menarik.
Tempat pertama yang saya kunjungi adalah kawasan Intramuros, sebuah area yang pernah dijadikan pusat kota saat zaman penjajahan Spanyol. Tarif masuknya 75 Peso atau Rp53 ribuan per orang.
Dari hotel, saya mencoba berkendara dengan menggunakan Jeepney, alias angkot khas Filipina. Lama perjalanannya sekitar 40 menit, dengan tiga kali berganti Jeepney yang bertarif 8 Peso atau Rp2.000 per orang.
Tiba di Intramuros, saya langsung menuju Fort Santiago. Spanyol dulu menjadikan komplek ini sebagai benteng pertahanan dan perkantoran pemerintah.
 Fort Santiago. (Wikimedia Commons/Leoviernes1) |
Berada di Fort Santiago serasa berada di Spanyol, karena gaya bangunannya identik dengan yang ada di negara aslinya. Dari lantai teratas benteng, pengunjung juga bisa menikmati keindahan laut yang terbentang di bawahnya.
Intramuros seluas kurang lebih 300 hektare. Selain Spanyol, ada juga bangunan peninggalan koloni Inggris. Fort Santiago bukan satu-satunya bangunan bersejarah yang ikonik di sana, karena ada juga Katedral Manila.
 Katedral Manila. (Wikimedia Commons/Rhonaramos) |
Gereja ini terbuka untuk umum mulai dari pukul 09.00 sampai 14.00. Pengunjung dilarang mengambil gambar seluruh bangunan gereja. Tapi petugas yang berjaga biasanya berbaik hati mempersilakan pengunjung untuk berfoto selfie.
Menikmati Intramuros bisa sambil berjalan kaki. Jika lelah, ada angkutan sejenis delman bernama Kalesa yang bisa ditumpangi. Tarifnya 350 Peso atau Rp250 ribuan untuk berkeliling sampai puas.
12.00-14.00 - Menikmati seni di Museum National Of PhilippinePuas berkeliling Intramuros, saya melanjutkan perjalanan ke Museum National Of Philippine. Masih menumpang Kalesa, jarak perjalanan yang saya tempuh sekitar 20 menit dari kawasan Intramuros.
Tarif masuk museum ini gratis, jadi tak heran selalu banyak pengunjung yang datang ke museum ini.
[Gambas:Instagram]Bangunan museum ini masih bergaya Spanyol. Pecinta karya seni pasti sangat senang datang ke sini, karena ada ribuan lukisan dan patung milik seniman ternama Filipina yang dipajang, mulai dari abad ke-18 sampai 2000-an.
14.00-16.00 - Mengisi perut di China Lucky TownMengunjungi dua tempat bersejarah membuat tenaga lumayan terkuras. Ada banyak tempat makan di sekitar Intramuros, tapi saya enggan ke sana, karena penjualnya mematok harga menu lebih mahal dari tempat makan di kawasan lainnya.
Dari Museum National Of Philippine saya naik angkutan serupa becak bernama Tricyle menuju kawasan China Lucky Town untuk makan siang.
Jarak perjalanannya sekitar 30 menit, dengan tarif 50 Peso atau Rp35 ribuan.
 China Lucky Town. (CNN Indonesia/Tiara Sutari) |
Berkeliling China Lucky Town cukup menjadi tantangan bagi saya, karena kawasan ini dihuni oleh banyak warga etnis Tionghoa yang tidak terlalu fasih berbahasa Inggris.
Tapi karena sebagian besar tempat makan di sini menyediakan menu khas China, yang namanya cukup familiar bagi sebagian besar turis mancanegara.
Sudah jauh-jauh ke China Lucky Town, ternyata ada juga gerai makanan cepat saji khas Filipina, Jollibee. Tempat makan ini sangat populer di Filipina, bahkan jumlah gerainya lebih banyak daripada gerai makan cepat saji milik jaringan internasional.
 Jollibee. (CNN Indonesia/Tiara Sutari) |
Jollibee jadi semakin terkenal setelah Perdana Menteri Kanada, Justin Trudeau, mampir di tengah kunjungannya untuk pertemuan ASEAN yang berlangsung beberapa hari sebelum kedatangan saya.
Di tempat makan ini, saya memesan paket Chickenjoy yang berisi dua ayam, nasi, sup krim, plus minuman soda seharga 99 Peso atau Rp31 ribuan.
Rasa makanannya tak jauh berbeda dengan paket ayam dan nasi di gerai makan cepat saji milik jaringan internasional. Tapi bisa makan di tempat makan kebanggaan penduduk Filipna ini jadi pengalaman menarik bagi saya.
16.00-20.00 - Belanja di Tutuban CenterPuas berkeliling di China Lucky Town, saya pun menjajal kawasan Ermita alias Mob Shop Night Market alias Tutuban Center.
Sama seperti di China Lucky Town, ada banyak toko yang menjual barang oleh-oleh khas Filipina di Tutuban Center, mulai dari makanan sampai pakaian.
[Gambas:Instagram]Yang menarik perhatian saya ialah banyaknya toko penjual minuman alkohol, dari merk lokal sampai internasional. Harganya lumayan miring, sesuai dengan "tingkat keasliannya" yang diyakinkan oleh sang penjual.
20.00-23.00 - Jadi anak mal FilipinaKarena berkeliling seorang diri, saya merasa segan untuk berlama-lama di Tutuban Center. Niat hati ingin kongko di salah satu barnya, tapi setelah malam semakin larut saya memutuskan untuk meninggalkan kawasan ini.
Kongko di Mall Of Asia jadi pilihan saya, sebelum kembali ke kamar hotel.
[Gambas:Instagram]Seluas 406 ribu meter persegi, mal ini merupakan yang terbesar di Filipina. Ada banyak kegiatan yang bisa dilakukan di sini, mulai dari berbelanja sampai kongko di bar.
Mal ini tak pernah sepi pengunjung, terutama anak mudanya. Suasana akhir tahun mulai terasa di sini, dengan hiasan bertema Natal dan Tahun Baru di setiap sudutnya.
Jarum jam sudah menunjukkan tengah malam. Kaki pun sudah lelah berkeliling seharian. Saya lalu memutuskan untuk berjalan pulang ke hotel karena masih ada agenda liputan lain keesokan hari.
(ard)